blue waves

blue waves

Kamis, 03 Juli 2014

Saat Kita Kehilangan: Tudung Hijau



            Teriakan-teriakan kecil memekik di antara cucuran air yang terisak. Karung-karung berjejer, nampan-nampan hilir mudik. Wangi ronce melati, daun pandan, dan kenanga menjadi tabir di bilik sempit. Tergambar di luar pandangan, beberapa orang terlihat menorehkan dawat di antara batu tegak. Hening , tenang, dan damai di tengah sesenggukan.
            “Mbak… ini nampannya,” lamunanku mereda.
            “Iya Mbak, terima kasih,” senyumku tersimpul sembari mengulurkan tangan   bersalaman.
Tangan yang lain ikut berjabat sebagai tanda hormat. Tangis ini bukan tangis haru, senyum ini hanya sebagai tanda menguatkan, pelukan ini bukan pelukan rindu tapi sebagai penghibur. Seseorang di sudut ruangan terlihat tanpa daya, mendekap kadua kaki yang tengah ditekuk. Jilbab biru mudanya tak sempat mengering. Terlalu banyak air mata yang mengalir.
“Ya Allah, fase ini juga kah yang akan aku lalui,” desahku bergetar.
***
“Asna, sudah ya hapus air matamu,” dia menoleh tajam.
Pelukan Ibu paruh baya itu terasa begitu hangat, Asna hanya tersenyum acuh. Air mata itu palsu, dia hanya tersulut  animo orang-orang di sekitar dan sanak saudara yang juga menangis. Asna menirukan tangisan mereka, tapi semakin dia menangis semakin banyak orang yang memeluknya.
“Mbah uti, bunda Asna kenapa meninggal?”
“Iya Asna, itu karena Allah sayang sekali sama Bunda. Jadi Bunda meninggal lebih dulu.”
Tanya itu terasa polos untuk anak knelas 5 SD seperti Asna.  Meski pegertian ‘meninggal’ sudah di bahas di pelajaran agama dan sudah di terangkan oleh murobbi-nya, perasaan Asna tak cukup peka untuk benar-benar mengerti arti kehilangan.
“Mbah uti, berarti tadi pagi malaikat Izroil datang kesini ya? Kasihan bunda, kata Ustad Mufti kalau orang mau meninggal itu sakit.”
“Iya Nak, tapi Asna kan anak yang baik, sholihah, dan selalu mendoakan Bunda, jadi Insya Allah malaikat Izroil tidak akan menyakiti Bunda,” nenek yang di panggil uti itu memeluk Asna erat menekan dadanya yang sesak berharap tak mengurai air mata.”
“Oh iya iya, Pak Ustad juga bilang kalau doa anak itu bisa bikin Bunda tersenyum. Pak Ustad juga bilang Uti, kalau orang tua kita meninggal kita ndak boleh nangis. Mbah Uti jangan nangis ya, nanti Bunda ikut nangis,” mata sipitnya menatap sayu.
“Subhanallah, terima kasih sungguh bermanfaat ilmu darimu Ustad. Kau memberikan kekuatan untuk putri kecil  ini.”
Dari sinilah peran seorang murobbi itu nampak. Tapi hati nenek mana yang tak tersayat, meliihat perempuan kecil di depannya mengungkap tanya yang mencekat. Kali ini tangisan nenek terhenti, tak lagi karena rasa kehilangan melainkan karena melihat setangkup cahaya masa depan untuk cucu tercintanya.
“Hiks hiks… Uti, Asna mau Bunda bangun,” telunjuk Asna terampil mengayuh tangan Uti.
Mata Asna tersudut jelas di keranda bertudung kain hijau, bertirai ronce kembang. Sesekali terdengar desah nafas sesenggukan tanpa air mata, meski Asna  tak paham mengapa Ia harus menangis. Bukankah Allah sayang Bunda? Kenapa semua orang menangis?.  Mbah uti terlihat menata puing-puing ketegaran hingga Asna tak lagi merengek meminta Sang Bunda bangun. Tangan rentanya menggenggam tangan mungil Asna dan membimbing lembut ke pipi Bundanya.
“Bunda cantik ya, As.” Kembali air mata itu menetes.
***
            “Mbak-mbak… Mbak Asna,” seseorang menggoyang pundakku.
            “Eh, Iya Rani,” lamunanku tersentak dengan buliran air yang menetes.
            “Mbak Asna nangis. Ayo mbak jenazahnya sudah mau dikebumikan, sudah selesai disholati. Ngelamun apa sih Mbak Asna?”
            “Ih, apa sih Ran. Alhamdulillah ya Ran, semua proses terasa cepat sekali. Pelayat yang datang juga banyak. Subhanallah, semoga Allah melapangkan Jalan Bu. Mariani,”
            “Orang baik balasannya baik mbak, Insya Allah. Amin…,” suara Rani mengekor.
            Ya Allah hari ini entah kenapa perasaan kehilangan merong-rong rongga dada.  Meski beliau hanya tetangga karena perbuatan baik beliau semasa hidup membuat semua orang disekitarnya merasa kehilangan. Kehilangan??? Iya aku bisa merasakannya sekarang. Jadi begini rasa kehilangan.
Maaf Bunda, Asna tidak bisa memelukmu kala itu, tak bisa menciummu kala itu, tidak bisa menggenggammu. Tapi meski demikian aku bersyukur, seandainya dulu aku sudah faham mungkin aku lebih merasa terpukul. Ya Allah jika hari ini Kau telah mengizinkanku merasakan begitu sakitnya kehilangan orang yang kita sayangi, Ya Allah aku mohon jangan Kau membuatku kehilangan untuk kedua kalinya dengan waktu yang singkat. 15 tahun yang lalu cukup menjadi rangkaian episode dari Mu. Sekarang izinkankan aku menjaga orang-orang  yang menyangiku karena Mu. Amin ….
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar