blue waves

blue waves

Rabu, 02 Juli 2014

Cerpen Pagi: Kutipan Semut



KUTIPAN SEMUT



Tidak ada ilham yang mampir  sama sekali di setiap sudut malam, tidak terkecuali malam ini. Sampai jarum jam bergeser perlahan menuju angka tiga, tangan ini hanya terpaku di atas keyboard melihat delik jajaran huruf dan angka. Lembar Microsoft Word masih berjudul (document1) tanpa jejak.
            “Masya’Allah, kenapa jadi macet gini sih! .Padahal  deadline editing tinggal tiga hari lagi. Ayo dong Ay!” gemuruh dalam hati menyemangati  beriringan dengan omelan kecil lambat laun terdengar jelas memecah di keheningan malam.
            “Istirahat dulu Ay, dipaksa terus hasilnya malah ndak bagus.”
            “Mending bu hasilnya jelek, kan bisa di revisi, lah ini tak ada goresan sama sekali di lembar computer Ayla. Ibu, kenapa belum tidur?”
            “Sudah lima jam kamu di depan laptop, dan sudah satu`jam juga Ibu dengar kamu ngomel. Sudah Nak, istirahat dulu.”
            “Bagaimana Ayla bisa istirahat tenang bu, kalau target ndak terkejar nanti pembayaran juga lambat, kalau sudah lambat bagaimana kebutuhan dirumah bisa terpenuhi, siapa yang akan bayar listrik, air, biaya sekolah, dan semuanya.”
            Rasa asam merebak di seluruh permukaan mulut ini. Emosi mendaulat jantungku untuk berdetak  sopran. Senyuman simpul Ibu tersudut di temani setetes bulir air mata.
            “Kenapa Ibu tersenyum, apa Ibu juga ndak peduli lagi sama Ayla. Jawab bu,” tangisanku tersesesat di sepertiga malam, dengan serentetan omelan yang sama sekali tak mengurangi estetika emosi. 
            “Nak, luapkan saja semuanya jika itu membuat sesak di dadamu terkikis, meski tak bisa hilang.”
            Suara Ibu meluber dan sekejab seolah hipnotis emosiku mereda, menyisakan guratan penyesalan, “Apa yang sudah kulakukan?, bicara dengan siapa aku?”
            Pelukan menyambar seperti kilat, hingga Ibu terhuyung di dekap pelukanku. Ya Allah, diri ini terlihat bodoh di mata-Mu. Rasanya ingin segera amnesia dengan kelakuanku tadi.
            “Maafkan Ayla, bukan maksud Ayla…”
            “Ibu mengerti Ay, harusnya Ibu yang minta maaf. Ibu bangga memilikimu Nak.”
            Tidak ada yang harus disalahkan dalam hal ini baik Ibu maupun aku, harusnya Ayah yang minta maaf. Wajar saja jika aku berontak, mata batinku sudah layu dengan sosok berstatus “Ayah”. Tidak ada pula usaha yang berarti sejak sepuluh tahun lalu. Sebagai kepala keluarga rasanya sudah hilang fungsi.
____
Semua usai di penghujung pagi, damai setelah sholat subuh membuat sejenak tersungkur di meja penuh serakan kertas. Mata ini terasa mengembang dan merah, sisa tragedi sepertiga malam. Terbelit kronologi yang miris, hingga tertinggal kewajiban mengejar deadline.
“Alhamdulilah, Ya Allah masih Engkau izinkan aku melihat pagi.” J
Segera saja kamera DSLR tipe CANON EOS 600 keluaran terbaru hadiah dari lomba resensi novel kuraih sigap dari loker. Aku tidak mau kehilangan moment penting di ufuk timur, sekalian saja melemaskan untuk memencet setiap tombol kamera yang belum aku kuasai. Kujepret sekenanya, setelahnya  jepretan ini tersorot pada seekor seekor semut sedang sendiri menggendong separuh butir nasi yang entah dari mana asalnya. Langsung saja semua jepretan kucetak untuk melihat hasilnya. 
Sebuah tulisan kuselipkan di antara beberapa cetakan “Subhanallah, semut saja sepagi ini sudah menggendong biji nasi. Tidakkah dia sebagai kepala keluarga dia sudah bertanggung jawab atas keluarganya. Tak seberapa yang dihasilkan, tapi sudah cukup menunjukkan sebuah usaha yang berarti.”
Semua masih tercecer di atas meja, hingga aku harus berangkat ke kantor.

-----
            “Jika hari ini kesempatan masih tersisa, izinkan Ayah kembali memelukku dan meminta maaf. Sementara aku percayakan keluarga ini kepadamu hingga semua kembali membaik. Oh iya Ayla, maaf ya fot semut di atas meja terpaksa ayah bawa, itu yang akan menguatkan ayah untuk terus mengingat anak sulung ayah. Maafkan Ayah.”
            “Ibu…. Ayah …… Bu ayah kemana bu?” rasa panik ini mulai meretas.
            “Ayahmu hanya menitipkan surat yang ditaruh di atas meja kerja. Ayah mendengar pertengkaran semalam dan pagi tadi tiba-tiba Ayahmu pamit untuk merantau,” terisak tangis, raut muka menebar rona kepedihan.
            “Ya Allah, apa yang telah aku lakukan. Mengusir Ayahku sendiri?” aku tak kalah menyesal tersandar di ujung beranda dengan pandangan kosong.
            Tembok itu mendengar dan bisa berbicara, harusnya aku diam dan diam. Tak kurang rasa syukur kupanjatkan, tapi kenapa hatiku malah menghakimi keadaan Ayah. Ampuni aku Ya Rabb. Disatu sisi aku bahagia karena ada keinginan untuk ayah berubah, tapi di sisi lain aku menyebabkan raut duka di wajah ibu. Semua sudah menjadi rajutan kelam, aku ingin mengurainya tanpa air mata. Jangan pernah menyesali setiap keadaan, harusnya aku bersyukur Allah masih mencukupkan segalanya. Semua bisa berubah dalam sehari, tapi juga bisa kehilangan dalam sehari.   
   

       #Mendung di penghujung pagi#'14


Tidak ada komentar:

Posting Komentar