blue waves

blue waves

Senin, 30 Juni 2014

Jika Muslimah Jatuh Cinta: lingkaran ta'aruf



Lingkaran Ta'aruf
            Seringai mentari menyorot serumpun koloni semut yang membawa butiran-butiran roti sisa. Merantai di ujung meja hingga tersusun laksana kereta pagi. Telunjuk ini jahil menyentuh rentetan yang menggelitik hingga barisannya terpecah, tapi kemudian mereka kembali lagi membentuk barisan. Tak ada salahnya menyambut pagi ini seperti semut yang selalu tampak semangat dan saling tolong menolong.
            “Syafa… Syafa … Loh kok malah melamun, ayo sarapan! Semua sudah menunggu di meja makan.”
            “Iya, iya Umi. Syafa ganti baju dulu.”
            Astaghfirullahaladzim, kepingan cerita masih terpatri jelas di benak ini. Perkenalan dengan seseorang di sebuh instansi satu bulan yang lalu mengukir sejarah untuk bisa membuat aku berdecak kagum. Aku hanya bisa melongo, “Subhanallah…” Allah menciptakan seseorang dengan segala kelebihannya. Tak banyak kata yang terucap, hanya tersudut senyum sebagai isyarat. Ilmu keagamaan yang dimiliki, menjadikan dia sosok yang teduh. Hari-hari berlalu jiwa ini terisi dengan sebuah perubahan besar, Hingga aku mantap untuk menyebut semua ini ta’aruf.
Meninggalkan koloni semut dengan secerca lamunan untuk bergegas ganti baju dan menuju ruang perjamuan sarapan.
            “Loh, kok, ya, kok?” Abi memberhentikan tangan yang hendak menyendok sayur lodeh, dan melongo.
            “Ih, Abi kok sebegitunya liatin Syafa. Apa ada yang aneh? Apa masih ada kotoran di wajah Syafa?”
Senyum kecut sembari menggosok-gosok wajah dengan tangan. Belum sempat selesai, yang lain malah mengekor untuk kembali menatapku. Abi, Ibu, Bulek, Mbak Rani semua ikut andil memandangku dengan ekspresi menahan tawa yang hendak menyembur.
“Umi, rupanya anak Abi sekarang mau ikut trend mode 1990.”
“Ooo, jadi karena khimar ini? khimar ini kan jilbab syar’i Abi, sebagai seorang muslimah kita harus mengenakannya.”
“Hmm ternyata ndak cuma cantik tapi juga tambah pintar rupanya. Bukan begitu, yang Abi heran kok tiba-tiba berubah gini, Abi mencium ada udang di balik-balik ini.”
“Di balik batu Abi … hmm …” Cubitan sayang seorang anak melayang di antara obrolan pagi yang menambah suasana  hangat. Abi hanya meringis kuda, diikuti gelak tawa anggota keluarga yang lain.
“Belakangan Abi lihat ada banyak perubahan, sering chatting sama siapa?, sekarang pakai khimar buat siapa?, sekarang juga getol banget ikut Umi pengajian,” Wajahku mulai menunjukkan indikasi terpojok.
“Lagi ta’aruf Bi,” melengos saja hingga semua tersentak dalam diam. Suasana menjadi sedikit dingin, jawaban tadi seolah menghipnotis semua peserta sarapan. Hingga ritual pagi ini selesai semua masih dalam keadaan yang sama. “Kenapa? Ada yang salah?” pikirku dalam hati.
-----
:08.00WIB
“Bang Awan, kok … ndak ketok pintu?”
Mata ini buru-buru memicing, beribu kata “tumben” berlari-lari di pikiran. Kedatangan  nya yang tak biasa mendaulat perasaan seolah ini semua modus belaka. Lagi pula baru kali ini ada seorang laki-laki yang berani melangkahkan kaki ke rumah mencari putri bungsu Pak Riwayadi. Seorang Syafa yang terkenal dengan “anak pingit” di datangi seorang laki-laki bertubuh gagah, hitam eksotis, dan manis. What???, seolah jenggot yang terbakar kalah dengan tingkahkku. Entah harus senang atau sedih, aku tak tahu. 
“Loh, ini Nak Awan to? Kok pagi-pagi sekali.” Tiba-tiba saja Umi muncul bersama serbet dapur ajaib dari balik pintu. Nada sopran degup jantung ini mulai melemah.
“Eh ada Ibu, mau antar laporan ke Syafa. Kemarin rupanya ketinggalan di meja kantor, kan hari ini Syafa ndak masuk kerja takutnya kalau laporan ini penting.”
“Astaghfirullah, pantes saja semalam mau dikerjakan malah hilang entah kemana. Sampai loker dibongkar tetep ndak ketemu. Makasih ya Bang.” Senyuman ini terlihat kaku alias malu, kebiasaan pelupa rasnya sudah jadi menu andalan setiap harinya. Bukan hanya itu, terlanjur suudzon sama orang itu yang bahaya.
“Awan pamit dulu ya Fa, Bu, mari.”
“Loh ndak masuk dulu to, kok keburu-buru.”
Ngapunten (maaf), terima kasih. Keburu pak bos datang. Syafa mau berangkat ke kampus sekarang? Mau bareng ke depan gang?”
Suara Umi tadi terlihat sekali basa-basi, hanya mempersilakan kemudian malah ditinggal masuk.
“Iya Bang … eh maksud Syafa terima kasih, nanti bawa motor sendiri. Hari ini kan ujian jadi berangkatnya pagi. Makanya Syafa bolos kerja dulu.”
Masih terukir bias semu merah di pipi. Sembari mengingat-ingat apa struktur jawaban tadi sudah benar? Rasa-rasanya semrawut.
“Abang jalan dulu Fa, Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.” Derum supra 125 D, lambat-laun menghalus dan menghilang bersama jajaran angin.
Setelah kejadian ajaib tadi segera saja berlalu. Hari-hari berikutnya bang Awan sering sekali mengutit waktu pagiku. Entah itu hanya sekedar melambaikan tangan, memamerkan senyum pepsodent, sampai berdalih mengantarkan sesuatu. Keajaiban amnesia, menjadi ladang subur untuk sekedar bertemu diwaktu pagi. Perhatian yang tidak biasa mulai nampak di permukan, entah itu di rumah maupun di kantor. Lama-lama hati ini bekerja, dan masih terus menyisakan tanda tanya. “Sudahlah, huallahua’lam. Semoga saja semua yang dilakukan Bang Awan ikhlas karena Allah semata.”
_____
Sepiring jemblem (makanan dari singkong parut dengan isian gula merah) dengan kombinasi secangkir teh tarik menimbulkan efek manis di setiap gigitan dan tegukannya. Gerimis mengekor menjadi hujan. Pojok beranda tetap hangat dengan sentilan-sentilan dialog ala keluarga Bapak Riwayadi. Sofa terlihat penuh, aku berada pada posisi tegak tersisih 3 meter dari mereka tapi pandangan ini tak terhalang apapun untuk tetap merasakan canda-tawa.
“Hmm… apa ya, gimana smsnya?, haduh kok jadi ribet.”
 Jemari ini masih terampil memencet key pad BB8520, mengotak- atik kata yang pas. Harus di awali salam, harus sopan, sedikit intelek, dan  sedikit dipikir supaya ndak kelihatan aku yang ingin tahu keadaannya. Edisi ngeles, padahal memang sedikit galau ingin sekedar tahu bagaimana keadaannya. Meski sering bertemu semuanya masih terlihat kaku. Ketik, hapus, ketik, hapus, ketik lagi, hapus lagi. Beberapa saat muncul sedikit cahaya pikiran meski hanya seterang lampu cempluk. Rasanya jurus ini tepat, meski terlihat basa-basi bisa juga sebagai antisipasi ketika balasannya singkat seperti biasa aku tidak terlalu cemas karena malu. Terkadang cuma “ya” atau biasanya mampir “boleh atau tidak”, paling mantep lagi balasan cuma icon senyum. Akhirnya sms ini yang mengawali.
“Assalamu’alaikum, ngopi enak ya. J
“Syafa… Syafa, berapa kali Abi harus manggil. Sini-sini, duduk samping Abi.”
“Iya bi, ada apa. Mau kopi?” Sesekali mata ini tertuju pada led BB yang tak kunjung menyala.
“Kenapa, Abi perhatikan kok gelisah. Smsnya ndak dibalas?”
“Ih apa to Bi, nggak kok. Hanya menanti jawaban saja. Hehe…” Menyeringai senyum mulus, dengan ornament jemblem yang masih penuh di mulut.
“Bagaimana ta’arufnya?”
“Alhamdulilah lancar Abi,” jawabku mantap.
“ Bagaimana ndak lancar, tiap pagi ada yang mampir, setiap hari ketemu, setiap saat bisa sms. Hati-hati nempel sama nafsu ujung-ujungnya ma’siat.”
“Masya Allah Abi, kok jadi doakan Syafa. Ndak lah, Syafa Insya Allah faham bagaimana harus bersikap.”
Di tengah obrolan led BB menyala, segera saja tangan ini sigap mengetik password di layar. “Iya, ini lagi ngopi. Kapan ya Ada waktu ngopi bareng, atau buatakan saya kopi?”. Jemblem yang masih belum terkunyah lembut seketika tertelan hingga mataku melotot,
“Subhanallah,” langka dalam batin bingung harus replay apa, pencet keypad jadi salah-salah. Selang sedikit lama akhirnya aku balas dengan penuh harap tapi tetap sesuai prosedur. Balas-membalas ini tak berlansung lama dan dramatis, tapi cukup menyisakan lampu hijau dalam hati. Tentu saja efeknya pasti happy ending.
“Ehm… kok Abi jadi ditinggal sms, dari siapa sih?” terlihat keramaian meninggalkan Abi dan putri cantiknya ini.
“Astaghfirullah, Em, anu Bi.. ehm teman,” suara Abi hampir saja membuat BB terlepas dari genggaman.
“Syafa, abi hanya mau meluruskan, jangan sampai kamu salah tafsir mengenai ta’aruf. Memangnya apa kamu sudah faham mengenai ta’aruf?”
“Kan Syafa ndak pacaran Bi, niat Syafa dalam hati karena Allah semata. Hati ini mantap dan nyaman ketika Syafa pertama kali ketemu. Meski dia dingin dan ndak jarang dia bersikap cuek, tapi entah kenapa setiap saat bayangannya selalu mengarahkan Syafa untuk selalu mengingat Allah Bi,” pernyataanku terlihat mantap.
“Anak Abi curhat nih,”
“Ih, bukannya Abi yang mulai.”
Ditepuk-tepukkan tangan hingga terasa hangat dipundak. Untuk seseorang yang kusebut Abi, menjadikan malam ini tertunduk dan tersipu malu karena dingin yang malam hembuskan kalah dengan pelukan Abi.
“Memang arti ta’aruf adalah proses perkenalan, sepintas maknanya mirip dengan pacaran yang disebut-sebut anak muda jaman sekarang. Tapi sebenarnya berbeda, Fa,”
“Iya Syafa tau Abi, kan kita juga jarang ketemu dan ndak pernah keluar, apalagi jalan berdua,” bantahku mengindikasi pada kebenaran.
“Bukan begitu sayang, ada yang berbeda di antara keduanya. Ta’aruf itu perlu adanya perantara, biasanya bisa melalui orang tua, guru ngaji, atau tetua. Abi banyak melihat laki-laki dan perempuan sekarang saling berdekatan dengan kedok ta’aruf-an tapi mereka tidak melibatkan seorang perantara. Mulanya PDKT terlebih dahulu lewat sms dengan bertanya sesuatu yang penting-penting dulu (walaupun sebetulnya hanya dipenting-pentingkan), semisal tanya tugas kampus, seputar amanah di organisasi kampus dan sebagainya. Lalu, mengambil hati dengan rutin mengirimkan sms tausiah, rajin membangunkan shalat malam (walaupun setelah sms kembali tidur lagi).”
Pikiranku tersumbat oleh beberapa penuturan Abi, mencoba mencocokkan dengan apa yang ada di dunia nyata. Pemahaman pribadi yang salah memang bisa menjadikan kita terjerembab dalam kebatilan  halus.
“Memangnya harus begitu ya, Bi!”
“Kadang memang tak sadar obrolan lewat sms mengarah ke hal pribadi. Sikap terbukanya seorang perempuan ini membuat laki-laki semakin berani untuk sekadar bertanya, “Sudah makan belum?” lalu ditambah dengan kalimat yang bernada mengingatkan dan sarat dengan perhatian, “Cepat makan sana! Nanti sakit loh!” lalu apa lagi ya, hayo yang sering pacaran pasti tau sekali,” keningku mengernyit, dan seketika melepaskan tubuh yang terhempas dari pelukan Abi.
“Hmm, Syafa ndak pacaran Abi,” Cubitan sayang ini mendarat dengan sempurna, sembari mencoba mencocokkan pernyataan Abi dengan hal-hal yang sempat merajai hari-hariku yang disibukkan dengan kedok ta’aruf.
“Trus bagaimana Abi, berarti selama ini anggapan Syafa salah. Wah kalau posisinya seperti ini jadi sulit, kan Syafa belum punya perantara.”
“Loh loh, anak Abi sudah benar-benar mau serius. Tidak terasa ya, anak Abi sudah pada dewasa. Ya, mulai sekarang diperbaiki dulu ta’arufnya Insya Allah Abi bantu. Perubahanmu baik Nak, tapi niatnya harus karena Allah, bukan karna ta’aruf atau orang lain. Ngomong-ngomong, si Awan baik juga Fa, sopan pula.”
“Kok Abi jadi bahas Bang Awan.”
“Lantas, siapa kalau bukan Awan?” Wajah Abi beradu pandang, mencoba menunggu untuk mengobati rasa kaget yang tiba-tiba nyelonong.”
“Hmm…Seseorang dengan sosok yang sederhana dengan akhlaq yang istimewa. Tapi yang jelas dia bukakn Bang Awan, Bi. Dia memang tidak pernah memperdulikan Syafa, tapi dia selalu ada di dalam do’a, dia bisa memberikan banyak pelajaran dari sikap sederhana dan diamnya sehingga Syafa bisa berubah untuk lebih mengenal Allah. Allah menganugerahkan perasaan yang sama sekali membuat Syafa  bingung. Cara dia menatap dan tersenyum Subhanallah menciptakan begitu banyak inspirasi hingga rasa nyaman selalu dihati.”
“Tuh kan curhat lagi,” Abi tersenyum melihat tingkahku.” Dengan sekelamit tanya, jika bukan Awan lalu siapa?
Malam ini sayatan-sayatan percakapan kecil kembali membawa sejuta pencerahan. Rengekan manja mennyulap keadaan menjadi sebuah drama yang manis. Meski akhirnya kepergok bersalah, rasanya hati ini pilu ingin segera mengubah arah niatan menjadi “LillahitaAllah” semua karena Allah. Jika biasanya harus mencuri-curi waktu menunjukkan perubahan pada dia sekarang aku lebih dewasa untuk menyikapi nafsu untuk sekedar pamer dan mengetahui keadaannya. Jika aku percaya Allah, aku yakin Allah akan selalu menjaga dia.
____
“Syafa, mantelnya ketinggalan.”
Hari ini seperti keajaiban dua, Bang Awan datang ba’da maghrib dengan dalih mengembalikan mantel tapi juga membawa beberapa kilo buah apel yang baunya harum menyeruak.
“Masya’Allah, selalu dan selalu. Makasih Bang.”
“Eh Fa, Abi sama Umi dirumah nggak,” kuurungkan niat untuk segera menutup pintu dengan dalih tidak enak jika dilihat tetangga.
“Kenapa Bang, semua ada kok. Tumben tanya Abi sama Umi.”
Timbul symbol pertanyaan besar, ini merupakan keajaiban ke-tiga, rona wajahku terlihat bodoh dan terpaksa memanggil Abi dan Umi. Sedikit hal yang sampai di telingaku. Meramu setiap arah pembicaraan untuk bisa tercerna dan membentuk sebuah kesimpulan. “Bang Awan melamarku.”
Sesaat setelah dialog serius diakhiri…
“Fa, Umi tau kamu tadi menguping di belakang.”
“I.. iya Umi,” Ekspresi wajahku serupa kapal tempur kaku, memanas, dan siap menyemburkan meriam.
“Bagaimana, menurut Abi Awan anak yang baik, sopan, dari keluarga baik-baik, mapan.” Penuturan Abi seolah melupakan percakapan semalam.
“Abi dan Umi setuju saja, iya kan Umi. Ini baru yang namanya ta’aruf, dia berani meminangmu langsung kepada Abi dan Umi. Yang jelas dia bisa menerimamu apa adanya, wong ya kamu tau kita bukan dari keluarga berada. Belum tentu orang yang kamu kagumi, sebaik rasa kagummu.”
“Tapi semua jawaban ada di kamu, Nak.”
Aku masih tercekat, dan meninggalkan ruang tamu. Abi tidak mengerti jalan pikiranku dan obrolan semalam terasa hanya sebuah komunikasi abal-abal. Mata ini memanas, menerka setiap bulir air mata yang hendak menyentuh tanah. Aku limbung dengan semua kenyataan. Disaat Allah menunjukkan jalan untuk seseorang berubah, saat itu pula Allah menitipkan sebuah ujian. Sesaat lebih tenang, menggantungkan  tetesan di atas temaram mendung. Terfikir pernyataan Abi dan Umi seakan goyah, membenarkan semua kenyataan. “Alif” aku mengenalnya hanya hitungan bulan,tetapi dia yang menjadi jalan untuk kembali mengenal Allah, dia yang memiliki hati ini karena Allah. “Awan” sudah 4 tahun dia selalu ada di setiap langkah, menjadikan hari-hariku pada kenyataan, bukan sebuah harapan. Mungkin saja Abi dan Umi benar Awan-lah yang Allah percayakan untuk bisa menjadi imamku. Dada ini penuh sesak, jalan satu-satunya hanya musyawarah dengan Allah.
------
Teruntuk: Bang Awan (Malang, 20 Januari 2014)
Hati ini hanya titipan Allah, aku berhutang budi dengan segala niat baik Abang. Hati ini tidak pernah salah Bang, hanya saja pilihan yang membuat aku harus menjadi raja tega. Kamu membuatku menjadi nyata, begitu juga Allah menunjukkannya kepadaku.
Bang Awan, terima kasih mungkin tak cukup membalas kebaikanmu. Berikan sebingkai hatimu untuk orang yang tulus ingin mendampingimu, tapi bukan aku. Seandainya abang datang sebelum aku menjatuhkan pilihan, mungkin ceritanya menjadi lain. Maafkan aku, jika aku harus memilih untuk tetap setia dengan keyakinanku. Sebelumnya Abang sudah mendengar semua ceritaku, mungkin saja engkau akan menertawakanku dengan berharap pada sesuatu yang tak pasti. Tapi aku yakin Allah bersamaku, aku akan berusaha memperbaiki niat ta’arufku. Yakinlah Allah sudah menyediakan secarik kebahagian untuk masing-masing di antara kita. Kamu dan kebahagiaanmu begitu pula Aku.
                                                                                                Assyifa Ramadhani.



By Astiana'14


Jika Muslimah Jatuh Cinta #

                Setiap potongan wortel menyisakan kepingan asa. Seolah pertanyaan yang sudah tersusun rapi tadi malam, pagi ini benar-benar terberai. Persis butiran pipih wortel, tapi rupanya bawang merah begitu mengerti hingga aku bisa meneteskan air mata dengan leluasa. Yah, lumayanlah setidaknya rasa penasaran dan tertekan bisa tersampul sempurna.
                “Kupas saja di kucuran air pasti ndak bakal pedes di mata,” Ibu menyela tangisku.
                “Ehm…iya, Bu. Memangnya bisa?” Sergahku membenarkan sebuah tips unik.
                “Ya dicoba saja dulu, biar kamu ndak mewek-mewek gitu. Nanti kuah supnya nambah lo.”
               
                Harusnya tidak ada tips hingga aku benar-benar puas dengan segala beban yang mengganjal. Ternyata tips ini manjur, hingga aku terpaksa menyeka buliran-buliran air mata. Bilang, tidak, bilang, tidak, bilang, tidak. Masya’Allah rasanya treble di dada ini semakin menderum. Menanyakan sebuah hal yang important di saat masak itu memang aneh, tapi aku rasa ini saat yang tepat membuat obrolan menjadi santai. Hmmmm, hufttt…..

                “I..Ibu, dulu ketemunya sama Ayah gimana sih,” sergahku garing.
              
                Bagaimana tidak, seperti siaran ulang talk show begitu pula cerita ini sudah berulang-ulang menjadi topik pembicaraan. Untung saja biasanya Ibu selalu bangga untuk mendeskripsikannya panjang lebar.
               
                “Tumben pertanyaannya sama.”
                “Glek…” Tanganku gemetar memegang ujung sendok.
               
                Mata ini membelalak, sup panas yang hendak dicicipi menyulut bibir dengan sempurna.  Ya… panas, rasa panasnya begitu nyata melilit lidah. Aku tidak menyangka basa-basi ini gagal.
               
                “Ehm…Bu, bagaimana kalau misalnya Fanny dekat dengan seorang laki-laki?”
                “Glek,” Ibu menelan ludah.
                “Memangnya kenapa Fan, sudah ada yang dekat?”
               
                 Aku ingin sup ini matang lebih lama hingga aku menyelesaikan delik talk show ini dengan mulus.             
                 Ucapanku benar-benar menjurus, dan keliahatannya keberanian ini menjadi pedang utama yang muncul tiba-tiba.               
                “Bukannya dulu Ibu pernah bilang kalau Fanny boleh kenal dengan seseorang kan?”
                “Iya, jadi sekarang sudah ada seseorang yang mau dekat? Namanya siapa? Tapi bukannya dulu janji mau wisuda dulu,” tanya ibu lantang.
                “Iya..kan Fanny Cuma…” rasanya tak sanggup ku bantah.
               
                Aku masih teringat saat menunjuk dada dan berjajanji untuk lulus tanpa embel-embel tujuan lain selain mengantongi gelar Sarjana Pendidikan. Tapi sementara aku abaikan. Sebongkah keberanian ini tak akan sia-sia hingga tekadku menyelesaikan beberapa pertanyaan lagi. Meski suasana dapur sedikit menguap tapi biarlah, sulit mendapat keberanian seperti sekarang. Ini kali pertama pertanyaan ini meluncur.

                “Fanny bingung Bu, bagaimana memulainya. Sebenarnya… Ehm Fanny, sebenaranya  Fanny yang… Maksud Fanny, bagaimana jika Fanny punya perasaan kepada seorang lelaki, Bu?” Tanyaku gelagapan.
                “Loh, perasaannya apa dulu? Sudah dipastikan belum?”
                “Maksud Ibu?”
                “Ya iya harus dipastikan dulu perasaan apa? Benci kah, suka kah, atau kecewa?”
                “Huft…,” sedikit demi sedikit peluh mengalir dari dahi,” watch out.
                “Belum tau, Bu. Rasanya ada yang berbeda, Fanny nyaman saja kenal dengan dia.”

                Ya, jawaban ‘nyaman’ itu memang familiar dan terkesan netral. Karena memang aku cukup berbelit jika ditanya sebenarnya ini perasaan apa. Vinda  pernah bilang mungkin benar kalau itu jatuh cinta. Hah??? Apa iya? Aku sering dengar juga statement ini, sering juga kasih saran pas temen sedang curhat. Tapi kalau merasakan sendiri?
                “Dia sudah kenal belum sama Fany,”
                “InsyaAllah sudah, Bu?” Jawabku mantab.
                “Bagaimana Agamanya? Bagaimana Akhlaknya? Bagaimana sekilas pendapat Fanny tentang dia?” Pertanyaan Ibu begitu rentet.
                “Islam Bu, sejauh yang Fanny tau Inysa Allah juga baik. Meski dia dingin, tak banyak kata dan semua itu membuat banyak tanda tanya di benak Fanny tapi Subhanallah banyak pelajaran yang Fanny dapat. Bagaimana cara bersikap, bagaimana cara menjawab, bahkan bagaimana cara bertindak. Saat Fanny instrospeksi, memang benar  Bu. Rasanya Fanny masih begitu jauh dari Syari’at,” gumamku menggebu lancar.

                “Kamu curhat?” Ibu tersimpul senyum.
               
               Tak sadar, semua mengalir seperti air terjun. Aku bebaskan semua tanya dan pernyataan tanpa ada pagar pembatas. Iya… rasanya mengalir dan begitu nyaman.  Sesekali aku usap dahi dan ternyata sudah tidak ada lagi peluh ketakutan yang menempel.

                Apa aku kelihatan curhat ya. “Ehmm… tapi apa memang kriterianya harus seperti yang Ibu bilang ya? Tapi kan Fanny hany sebatas kenal, Bu.”
                “Tapi apa salah jika Ibu bertanya demikian?” Jawaban itu seolah menyudutkanku.
                “Ehm..ti … tidak… Bu. Fanny jadi malu. Maaf ya Bu, jika Fanny tidak bisa menjaga hati dan pandangan Fanny,” keluhku menguat.
                “Justru ini sebuah hadiah dari kesabaranmu mejaga hati, Nak. Muslimah boleh kok jatuh cinta,” pernyataan Ibu tegas.

                Semua masakan di dapur hampir selesai. Hanya tinggal kerupuk yang hampir tuntas dipenggorengan. Tapi obrolan ini begitu membuat rasa ingin tahu ini membuncah. Aku tidak ingin obrolan ini terputus.
             
                “Memangnya boleh? Lalu apa untungnya selama ini Fanny harus menjaga hati.”
                “Boleh saja, bahkan untuk mengungkapkan perasaan. Tapi semuanya dengan dua kemungkinan.”
                “Kemungkinan apa, Bu,” tandasku semakin menguat. Otak penasaran semakin mengejang.
                “Sepertinya anak Ibu benar-benar sudah jatuh cinta. Kamu belum jawab Ibu siapa namanya?”
                "Ehmm....."
               
                Nadaku melemas. “Fanni belum bisa memastikan ini perasaan apa. Fanny hanya tidak mau kalau sampai perasaan in jatuh di koridor yang salah. Fanny takut sakit hati seperti yang temen-temen dan banyak orang bilang.Tapi lebih takut lagi, jika sampai salah langkah dan hanya terburu hawa nafsu. Naudzubillah… Hmm.... Fanny salah ya, Bu?”
                “Perasaan itu wajar dimiliki setiap makhluk lemah seperti kita dan Allah SWT tidak melarang adanya perasaan tersebut asalkan kita bisa menjaganya dan tidak terbawa nafsu. Fan, muslimah boleh jatuh cinta. Jika kamu jatuh cinta niatkan semua karena Allah, jika Allah mengizinkan segerakan untuk mengutarakan ta’aruf tapi saat dia belum siap untuk melangkah maka seorang muslimah harus shobr untuk kembali menjaga hati.”
               "Hah? Fanny kan perempuan, Bu?"
               "Loh, bukannya Fanny bertanya dari sudut perasaan Fanny? Sepertinya Fanny juga belum tau apa yang dia rasakan. Jadi wajar kalau jawaban Ibu hanya sepihak dari perasaanmu. Beda lagi kalau kalian sudah sama-sama mengerti. Mungkin hanya butuh seseorang untuk menjembatani ta'aruf."
                Kali ini  penuturan Ibu membuatku tercengang. Secara aku hanya seorang perempuan, betapa malu rasanya jika harus mengungkapkan terlebih dahulu. Jangankan bicara masalah hitbah, ta’aruf  dan sejenisnya, menyapapun masih terasa canggung. Meski aku percaya, tapi rasanya lidah ini tidak akan pernah singkron dengan secuil kenyataan dalam hati.

                “Ehm…Oh…  sudahlah, Bu. Lebih baik Fanny menjaga hati saja. Mungkin menunggu memang jawaban yang lebih pas untuk sementara ini.”
                “Bukan maksud Ibu selama ini mengekang dan membatasi pergaulanmu. Suatu saat Fanny pasti mengerti betapa indahnya menjaga hati.”
                “InsyaAllah, Bu,” jawabku haru.
                “Sudahlah, tidak usah menangis seperti tadi. Sudah plong kan? Insya Allah do’amu tiap malam untuk dia akan diijabah. Meski kita tidak tau jawaban apa yang nanti Allah berikan.”
                “Hah…Fanny ndak nangis kok.”  Sorotan mata ini menyimpan curiga seolah ibu benar-benar paham apa yang aku rasakan.
                “Alah, sudahlah Nak. Aku ini Ibumu. Mau tanya saja sampai nangis pake alasan bawang merah lagi... Jika dulu kamu yang harus mendengarkan Ibu, sekarang sudah saatnya Ibu yang mendengar ceritamu,” sergahnya meredam.

                Subhanallah ... Semua berakhir bersama kerupuk-kerupuk yang tertata rapi di dalam toples. Persis seperti hatiku yang sudah mulai tertata kembali ketika Ibu mau mendengar pernyataanku. Meski belum begitu puas dengan kebenaran yang diutarakannya. Tawaku mulai mengembang, hari ini pertama kalinya Ibu mendengar apa yang aku rasakan. Maaf bu, ketakutanku salah. Semua cukup menoreh sebuah keyakinan bahwa setiap perasaan manusia itu tidak salah. Katakan hari ini atau kamu akan menyesal, sungguh pernyataan itu sangat tak adil untuk kaum  hawa. Bukan diskriminasi, tapi I’tikad seorang perempuan untuk menjaga hati yang menjadikan pernyataan itu tersamar dan kelu. Saat ini jika aku gelisah itu karena ada seseorang selain Allah dihatiku dan aku yakin kegelisahan itu akan menghilang ketika Allah sudah menjadikan semuanya halal.


"Wink for wink"----- Ayu Astiana '2014          

Jika Muslimah Jatuh Cinta: Sudah punya calon?



Sudah punya calon?
By. ASTIANA

                Usia termakan waktu dengan benturan comen-comen radikal yang datang beruntun. Siang ini suasana rumah mamring alias sepi hanya aku dan Ibu yang melenggang dengan kesibukan masing-masing. Kertas-kertas revisi skripsi masih acak-adul di sudut-sudut lantai kamar.
“Fany, Ibu perhatikan kamu sekarang ndak punya temen cowok.” Terangsang dengan pertanyaan menggelitik, aku hanya nyengir sembari mencomot jeruk di tangan ibu. Hanya saja respon mata ini juga ikut membelalak.
“Ih, apa sih bu. Bukannya ibu yang selama ini melarang Fany.” Aku mencoba memutar kembali sebuah ikrar dahulu sebelum memutuskan untuk masuk kuliah. Ibu rupanya masih celingak-celinguk menanti jawaban selanjutnya, sayang aku hanya menjawab sekenanya.
“Tapi…” Jawaban itu sepertinya tertelan bersama kupasan jeruk mandarin yang langsung masuk ke lambung.
“Tapi kenapa bu. Pilih kuliah sama kerja atau kerja dan menikah?, kalau pilihnya kuliah sama kerja berarti jangan dekat sama cowok, titik. Bukannya itu dulu multiple choicenya.” Menggelar kembali sebuah pilihan yang semestinya sudah menjadi sebuah komitmen. Ketika itu mantap dengan pilihan kuliah dan bekerja.
Ibu memang tidak membatasi pergaulanku dengan siapapun, asal bertanggungjawab.  Tapi untuk masalah manusia yang berwujud lelaki sensitifitas beliau selalu meniggi, bahkan meski hanya berteman. Tak jarang teman-temanku berteriak jargon “anak pingit”. Hah? Hari gini jadi anak pingit, jangankan keluar rumah telfon-telfonan dalam kamar saja selalu ada detektifnya. Tapi that’s real. Lambat laun aku bisa mengerti kenapa ibu bersikap demikian dan aku juga mengerti bagaimana cara bersikap sebagai seorang perempuan.
“Ya tapi kan ndak harus tidak mengenal cowok sama sekali.” Limbung dengan raut meluber bersama guratan menua di wajahnya. Tatapanku mulai berbeda, sepertinya pembicaraan ini merujuk ke arah serius.
“Setidaknya kamu juga harus tahu bagaimana mereka, jangan ndak mengenal mereka sama sekali. Tapi kalau mau ketemu ya di rumah saja.”
“Serius bu…” kataku lembut melawan arah pembicaraan dengan bersandar di bahu beliau, meski hati ini kaget. Ada angin apa tiba-tiba ibu bertanya demikian. Apa sudah ingin anak perempuannya ini menikah, atau cuma melihat sejauh mana aku memegang komitmen untuk menyelesaikan kuliah atau mungkin ada alasan lain.
“Iya, ibu serius. Mungkin sudah saatnya kamu mengenal sosok cowok. Apa jangan-jangan kamu sudah punya pilihan untuk menikah?” Nada bicaranya sedikit membuncah. Dalam hatiku masih galau, tadi katanya disuruh mengenal cowok, tapi pertanyaan yang beliau buat malah bikin kaget sendiri.
“Belum lah bu, Insya Allah komitmen Fany masih di sini sampe wisuda nanti.” Telunjuk kananku mantap mengarah ke dada sebagai symbol hati. Aku mencerna setiap pertanyaan dan menjawab dengan hati-hati. Walaupun tak dipungkiri terkadang rasa ingin menjalin hubungan dengan cowok itu selalu muncul, manusiawi. Kadang rasa iri dengan teman yang sudah berpasangan dan menikah itu juga membayangi, tapi aku sudah siap dengan membatasi diri untuk bisa menjaga hati.
“Ya sudah lah, jangan terlalu tertutup. Cerita sama ibu kalau sudah kenal sama cowok. Ingat sudah saatnya kamu membuka hati.” Tanpa sambungan kata lagi ibu melangkah pergi dari kamar penuh kertas berserakan.
            Rasanya kepala membumbung dengan ornament burung di kepala, dengan mulut masih mengaga penuh dengan buliran jeruk mandarin yang belum tertelan. Entah itu hati ibu sudah benar-benar terbuka untuk menerima anaknya dekat dengan cowok, atau semata-mata hanya mau nge-tes, atau memang benar-benar cemas anak perempuannya sudah mau wisuda tapi ga punya cowok alias jomblo. Huft, yang jelas aku bersyukur meski jomblo. Aku tidak pernah merasa jomblo karena aku tidak pernah merasakan pacaran. Hanya sepercik harapan yang tersimpan untuk nantinya kuhadiahkan hati ini kepada seseorang yang bernama “suami”.
           



Praying for our days: Belajar bersikap adil


Asik sepertinya menambahkan sebuah catatan penting dalam hidup. Ibarat pengingat di buku pelajaran, seseorang akan meng-underline atau highlight materi tersebut. Begitu pula kita, jika dijabarkan dalam cerita, setiap hari pasti sudah menjadi satu rangkuman dengan banyak ide-ide pokok di dalamnya. Jika sehari saja menghasilkan satu cerita, bagaimana dengan 30 hari sudah 30 cerpen hidup terkumpul dalam bentuk mushaf. Bagaimana jika satu tahun, dan..... "Wow", Mungkin jika dijilid atau dibukukan bisa menjadi pemanis perpustakaan pribadi. Haha... terlalu jauh rasanya jika kita harus memaksa setiap hari kita harus dituangkan dalam sebuah coretan. Berbagai alasan akan muncul "Memangnya pekerjaan saya cuma tulis-tulis", tapi ada juga yang beranggapan "Asik juga ya, menuangkan apa yang terjadi setiap harinya di atas kertas", ada pula komentar kecut "kayak anak SMA". Mungkin bagi sebagian orang menganggap suatu hal itu penting, tapi tidak bagi orang lain. Maklum lah memang di dunia ini semua diciptakan berbeda, bahkan pasangan yang sudah menikahpun sebenarnya juga memiliki perbedaan dan itu "WAJAR".

Tapi Inti dari catatan di atas hanyalah mencoba menghargai hidup dengan catatan kecil di setiap harinya. Jika satu hari ini kita menghasilkan satu rangkaian cerita pastinya dalam satu hari itu kita memiliki satu hal yang kita anggap penting dan bisa pula merupakan pelajaran penting. Contoh saja: Ketika aku dan ibu memasak di dapur, aku mendapat sebuah pelajaran penting dari sebuah telur dadar, saat aku mulai menggoreng baunya begitu menyerbak ketika telur mulai matang ibuku menyuruhku memotong telur yang masih di atas wajan tersebut menjadi 5 bagian. Karena notabene dirumah ada lima orang, dan semua harus rata. Rasanya aku sudah berusaha membagi rata, tapi ketika selesai tetap saja hasilnya ada yang besar sebelah. Spontan Ibuku berkata "Makanya Nduk, adil itu susah. Meski sudah berusaha masih saja ada yang tidak sama.", "iya buk, adil kan cuma milik Allah SWT". "Jadi kita sebagai manusia itu cuma bisa ikhlas dengan rezekiNya, seperti rezeki telur ini siapapun dan apapun yang di dapat harus legowo". Meski akhirnya yang gede buat aku... haha. Tapi aku punya highlght pagi ini bahwa "Bersikapp adil itu susah, jadi kita harus bisa menerima mana yang jadi rezeki kita." HAl-hal seperti itu lah yang menjadikan setiap hari kita menjadi lebih bermanfaat.

Mski tak bisa dalam tulisan, kita bisa hanya dengan membayangkan kok. Kejadian apa yang harus di highlight atau di underline di  hari ini. Jika pelajaran baik yang di dapat ucapkan  "Alhamdulillah" jika itu kejadian buruk ucapkan "Astaghfirullahaladzim", dan berusaha memperbaiki kedepannya. Ini tidak waste time. Ini hanya sebagian cara kita especially one of my way untuk bisa mengagendakan syukur di setiap langkahku.....

This is my way, where's yours???   :) Love our day   Happy Ramadhan Mubarak