blue waves

blue waves

Senin, 30 Juni 2014

Jika Muslimah Jatuh Cinta #

                Setiap potongan wortel menyisakan kepingan asa. Seolah pertanyaan yang sudah tersusun rapi tadi malam, pagi ini benar-benar terberai. Persis butiran pipih wortel, tapi rupanya bawang merah begitu mengerti hingga aku bisa meneteskan air mata dengan leluasa. Yah, lumayanlah setidaknya rasa penasaran dan tertekan bisa tersampul sempurna.
                “Kupas saja di kucuran air pasti ndak bakal pedes di mata,” Ibu menyela tangisku.
                “Ehm…iya, Bu. Memangnya bisa?” Sergahku membenarkan sebuah tips unik.
                “Ya dicoba saja dulu, biar kamu ndak mewek-mewek gitu. Nanti kuah supnya nambah lo.”
               
                Harusnya tidak ada tips hingga aku benar-benar puas dengan segala beban yang mengganjal. Ternyata tips ini manjur, hingga aku terpaksa menyeka buliran-buliran air mata. Bilang, tidak, bilang, tidak, bilang, tidak. Masya’Allah rasanya treble di dada ini semakin menderum. Menanyakan sebuah hal yang important di saat masak itu memang aneh, tapi aku rasa ini saat yang tepat membuat obrolan menjadi santai. Hmmmm, hufttt…..

                “I..Ibu, dulu ketemunya sama Ayah gimana sih,” sergahku garing.
              
                Bagaimana tidak, seperti siaran ulang talk show begitu pula cerita ini sudah berulang-ulang menjadi topik pembicaraan. Untung saja biasanya Ibu selalu bangga untuk mendeskripsikannya panjang lebar.
               
                “Tumben pertanyaannya sama.”
                “Glek…” Tanganku gemetar memegang ujung sendok.
               
                Mata ini membelalak, sup panas yang hendak dicicipi menyulut bibir dengan sempurna.  Ya… panas, rasa panasnya begitu nyata melilit lidah. Aku tidak menyangka basa-basi ini gagal.
               
                “Ehm…Bu, bagaimana kalau misalnya Fanny dekat dengan seorang laki-laki?”
                “Glek,” Ibu menelan ludah.
                “Memangnya kenapa Fan, sudah ada yang dekat?”
               
                 Aku ingin sup ini matang lebih lama hingga aku menyelesaikan delik talk show ini dengan mulus.             
                 Ucapanku benar-benar menjurus, dan keliahatannya keberanian ini menjadi pedang utama yang muncul tiba-tiba.               
                “Bukannya dulu Ibu pernah bilang kalau Fanny boleh kenal dengan seseorang kan?”
                “Iya, jadi sekarang sudah ada seseorang yang mau dekat? Namanya siapa? Tapi bukannya dulu janji mau wisuda dulu,” tanya ibu lantang.
                “Iya..kan Fanny Cuma…” rasanya tak sanggup ku bantah.
               
                Aku masih teringat saat menunjuk dada dan berjajanji untuk lulus tanpa embel-embel tujuan lain selain mengantongi gelar Sarjana Pendidikan. Tapi sementara aku abaikan. Sebongkah keberanian ini tak akan sia-sia hingga tekadku menyelesaikan beberapa pertanyaan lagi. Meski suasana dapur sedikit menguap tapi biarlah, sulit mendapat keberanian seperti sekarang. Ini kali pertama pertanyaan ini meluncur.

                “Fanny bingung Bu, bagaimana memulainya. Sebenarnya… Ehm Fanny, sebenaranya  Fanny yang… Maksud Fanny, bagaimana jika Fanny punya perasaan kepada seorang lelaki, Bu?” Tanyaku gelagapan.
                “Loh, perasaannya apa dulu? Sudah dipastikan belum?”
                “Maksud Ibu?”
                “Ya iya harus dipastikan dulu perasaan apa? Benci kah, suka kah, atau kecewa?”
                “Huft…,” sedikit demi sedikit peluh mengalir dari dahi,” watch out.
                “Belum tau, Bu. Rasanya ada yang berbeda, Fanny nyaman saja kenal dengan dia.”

                Ya, jawaban ‘nyaman’ itu memang familiar dan terkesan netral. Karena memang aku cukup berbelit jika ditanya sebenarnya ini perasaan apa. Vinda  pernah bilang mungkin benar kalau itu jatuh cinta. Hah??? Apa iya? Aku sering dengar juga statement ini, sering juga kasih saran pas temen sedang curhat. Tapi kalau merasakan sendiri?
                “Dia sudah kenal belum sama Fany,”
                “InsyaAllah sudah, Bu?” Jawabku mantab.
                “Bagaimana Agamanya? Bagaimana Akhlaknya? Bagaimana sekilas pendapat Fanny tentang dia?” Pertanyaan Ibu begitu rentet.
                “Islam Bu, sejauh yang Fanny tau Inysa Allah juga baik. Meski dia dingin, tak banyak kata dan semua itu membuat banyak tanda tanya di benak Fanny tapi Subhanallah banyak pelajaran yang Fanny dapat. Bagaimana cara bersikap, bagaimana cara menjawab, bahkan bagaimana cara bertindak. Saat Fanny instrospeksi, memang benar  Bu. Rasanya Fanny masih begitu jauh dari Syari’at,” gumamku menggebu lancar.

                “Kamu curhat?” Ibu tersimpul senyum.
               
               Tak sadar, semua mengalir seperti air terjun. Aku bebaskan semua tanya dan pernyataan tanpa ada pagar pembatas. Iya… rasanya mengalir dan begitu nyaman.  Sesekali aku usap dahi dan ternyata sudah tidak ada lagi peluh ketakutan yang menempel.

                Apa aku kelihatan curhat ya. “Ehmm… tapi apa memang kriterianya harus seperti yang Ibu bilang ya? Tapi kan Fanny hany sebatas kenal, Bu.”
                “Tapi apa salah jika Ibu bertanya demikian?” Jawaban itu seolah menyudutkanku.
                “Ehm..ti … tidak… Bu. Fanny jadi malu. Maaf ya Bu, jika Fanny tidak bisa menjaga hati dan pandangan Fanny,” keluhku menguat.
                “Justru ini sebuah hadiah dari kesabaranmu mejaga hati, Nak. Muslimah boleh kok jatuh cinta,” pernyataan Ibu tegas.

                Semua masakan di dapur hampir selesai. Hanya tinggal kerupuk yang hampir tuntas dipenggorengan. Tapi obrolan ini begitu membuat rasa ingin tahu ini membuncah. Aku tidak ingin obrolan ini terputus.
             
                “Memangnya boleh? Lalu apa untungnya selama ini Fanny harus menjaga hati.”
                “Boleh saja, bahkan untuk mengungkapkan perasaan. Tapi semuanya dengan dua kemungkinan.”
                “Kemungkinan apa, Bu,” tandasku semakin menguat. Otak penasaran semakin mengejang.
                “Sepertinya anak Ibu benar-benar sudah jatuh cinta. Kamu belum jawab Ibu siapa namanya?”
                "Ehmm....."
               
                Nadaku melemas. “Fanni belum bisa memastikan ini perasaan apa. Fanny hanya tidak mau kalau sampai perasaan in jatuh di koridor yang salah. Fanny takut sakit hati seperti yang temen-temen dan banyak orang bilang.Tapi lebih takut lagi, jika sampai salah langkah dan hanya terburu hawa nafsu. Naudzubillah… Hmm.... Fanny salah ya, Bu?”
                “Perasaan itu wajar dimiliki setiap makhluk lemah seperti kita dan Allah SWT tidak melarang adanya perasaan tersebut asalkan kita bisa menjaganya dan tidak terbawa nafsu. Fan, muslimah boleh jatuh cinta. Jika kamu jatuh cinta niatkan semua karena Allah, jika Allah mengizinkan segerakan untuk mengutarakan ta’aruf tapi saat dia belum siap untuk melangkah maka seorang muslimah harus shobr untuk kembali menjaga hati.”
               "Hah? Fanny kan perempuan, Bu?"
               "Loh, bukannya Fanny bertanya dari sudut perasaan Fanny? Sepertinya Fanny juga belum tau apa yang dia rasakan. Jadi wajar kalau jawaban Ibu hanya sepihak dari perasaanmu. Beda lagi kalau kalian sudah sama-sama mengerti. Mungkin hanya butuh seseorang untuk menjembatani ta'aruf."
                Kali ini  penuturan Ibu membuatku tercengang. Secara aku hanya seorang perempuan, betapa malu rasanya jika harus mengungkapkan terlebih dahulu. Jangankan bicara masalah hitbah, ta’aruf  dan sejenisnya, menyapapun masih terasa canggung. Meski aku percaya, tapi rasanya lidah ini tidak akan pernah singkron dengan secuil kenyataan dalam hati.

                “Ehm…Oh…  sudahlah, Bu. Lebih baik Fanny menjaga hati saja. Mungkin menunggu memang jawaban yang lebih pas untuk sementara ini.”
                “Bukan maksud Ibu selama ini mengekang dan membatasi pergaulanmu. Suatu saat Fanny pasti mengerti betapa indahnya menjaga hati.”
                “InsyaAllah, Bu,” jawabku haru.
                “Sudahlah, tidak usah menangis seperti tadi. Sudah plong kan? Insya Allah do’amu tiap malam untuk dia akan diijabah. Meski kita tidak tau jawaban apa yang nanti Allah berikan.”
                “Hah…Fanny ndak nangis kok.”  Sorotan mata ini menyimpan curiga seolah ibu benar-benar paham apa yang aku rasakan.
                “Alah, sudahlah Nak. Aku ini Ibumu. Mau tanya saja sampai nangis pake alasan bawang merah lagi... Jika dulu kamu yang harus mendengarkan Ibu, sekarang sudah saatnya Ibu yang mendengar ceritamu,” sergahnya meredam.

                Subhanallah ... Semua berakhir bersama kerupuk-kerupuk yang tertata rapi di dalam toples. Persis seperti hatiku yang sudah mulai tertata kembali ketika Ibu mau mendengar pernyataanku. Meski belum begitu puas dengan kebenaran yang diutarakannya. Tawaku mulai mengembang, hari ini pertama kalinya Ibu mendengar apa yang aku rasakan. Maaf bu, ketakutanku salah. Semua cukup menoreh sebuah keyakinan bahwa setiap perasaan manusia itu tidak salah. Katakan hari ini atau kamu akan menyesal, sungguh pernyataan itu sangat tak adil untuk kaum  hawa. Bukan diskriminasi, tapi I’tikad seorang perempuan untuk menjaga hati yang menjadikan pernyataan itu tersamar dan kelu. Saat ini jika aku gelisah itu karena ada seseorang selain Allah dihatiku dan aku yakin kegelisahan itu akan menghilang ketika Allah sudah menjadikan semuanya halal.


"Wink for wink"----- Ayu Astiana '2014          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar