blue waves

blue waves

Senin, 30 Juni 2014

Jika Muslimah Jatuh Cinta: Sudah punya calon?



Sudah punya calon?
By. ASTIANA

                Usia termakan waktu dengan benturan comen-comen radikal yang datang beruntun. Siang ini suasana rumah mamring alias sepi hanya aku dan Ibu yang melenggang dengan kesibukan masing-masing. Kertas-kertas revisi skripsi masih acak-adul di sudut-sudut lantai kamar.
“Fany, Ibu perhatikan kamu sekarang ndak punya temen cowok.” Terangsang dengan pertanyaan menggelitik, aku hanya nyengir sembari mencomot jeruk di tangan ibu. Hanya saja respon mata ini juga ikut membelalak.
“Ih, apa sih bu. Bukannya ibu yang selama ini melarang Fany.” Aku mencoba memutar kembali sebuah ikrar dahulu sebelum memutuskan untuk masuk kuliah. Ibu rupanya masih celingak-celinguk menanti jawaban selanjutnya, sayang aku hanya menjawab sekenanya.
“Tapi…” Jawaban itu sepertinya tertelan bersama kupasan jeruk mandarin yang langsung masuk ke lambung.
“Tapi kenapa bu. Pilih kuliah sama kerja atau kerja dan menikah?, kalau pilihnya kuliah sama kerja berarti jangan dekat sama cowok, titik. Bukannya itu dulu multiple choicenya.” Menggelar kembali sebuah pilihan yang semestinya sudah menjadi sebuah komitmen. Ketika itu mantap dengan pilihan kuliah dan bekerja.
Ibu memang tidak membatasi pergaulanku dengan siapapun, asal bertanggungjawab.  Tapi untuk masalah manusia yang berwujud lelaki sensitifitas beliau selalu meniggi, bahkan meski hanya berteman. Tak jarang teman-temanku berteriak jargon “anak pingit”. Hah? Hari gini jadi anak pingit, jangankan keluar rumah telfon-telfonan dalam kamar saja selalu ada detektifnya. Tapi that’s real. Lambat laun aku bisa mengerti kenapa ibu bersikap demikian dan aku juga mengerti bagaimana cara bersikap sebagai seorang perempuan.
“Ya tapi kan ndak harus tidak mengenal cowok sama sekali.” Limbung dengan raut meluber bersama guratan menua di wajahnya. Tatapanku mulai berbeda, sepertinya pembicaraan ini merujuk ke arah serius.
“Setidaknya kamu juga harus tahu bagaimana mereka, jangan ndak mengenal mereka sama sekali. Tapi kalau mau ketemu ya di rumah saja.”
“Serius bu…” kataku lembut melawan arah pembicaraan dengan bersandar di bahu beliau, meski hati ini kaget. Ada angin apa tiba-tiba ibu bertanya demikian. Apa sudah ingin anak perempuannya ini menikah, atau cuma melihat sejauh mana aku memegang komitmen untuk menyelesaikan kuliah atau mungkin ada alasan lain.
“Iya, ibu serius. Mungkin sudah saatnya kamu mengenal sosok cowok. Apa jangan-jangan kamu sudah punya pilihan untuk menikah?” Nada bicaranya sedikit membuncah. Dalam hatiku masih galau, tadi katanya disuruh mengenal cowok, tapi pertanyaan yang beliau buat malah bikin kaget sendiri.
“Belum lah bu, Insya Allah komitmen Fany masih di sini sampe wisuda nanti.” Telunjuk kananku mantap mengarah ke dada sebagai symbol hati. Aku mencerna setiap pertanyaan dan menjawab dengan hati-hati. Walaupun tak dipungkiri terkadang rasa ingin menjalin hubungan dengan cowok itu selalu muncul, manusiawi. Kadang rasa iri dengan teman yang sudah berpasangan dan menikah itu juga membayangi, tapi aku sudah siap dengan membatasi diri untuk bisa menjaga hati.
“Ya sudah lah, jangan terlalu tertutup. Cerita sama ibu kalau sudah kenal sama cowok. Ingat sudah saatnya kamu membuka hati.” Tanpa sambungan kata lagi ibu melangkah pergi dari kamar penuh kertas berserakan.
            Rasanya kepala membumbung dengan ornament burung di kepala, dengan mulut masih mengaga penuh dengan buliran jeruk mandarin yang belum tertelan. Entah itu hati ibu sudah benar-benar terbuka untuk menerima anaknya dekat dengan cowok, atau semata-mata hanya mau nge-tes, atau memang benar-benar cemas anak perempuannya sudah mau wisuda tapi ga punya cowok alias jomblo. Huft, yang jelas aku bersyukur meski jomblo. Aku tidak pernah merasa jomblo karena aku tidak pernah merasakan pacaran. Hanya sepercik harapan yang tersimpan untuk nantinya kuhadiahkan hati ini kepada seseorang yang bernama “suami”.
           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar