blue waves

blue waves

Selasa, 01 Juli 2014

Cangkir Ibu




Tanganku masih gemetar, setelah meneguk wedang kopi dalam cangkir ungu. Mata ini meliririk mengikuti sebuah bayangan, hingga tepat di pojok almari jati. Terlihat samar berbaur dengan warna plitur kecoklatan. Aroma mistis mendominasi ruangan bercahaya lampu dop 5 watt.
            “Ibu,” aku tersentak. Korden disamping almari melambai, menguatkan bahwa benar ada seseorang yang melewatinya. Aku yakin itu Ibu.
            Sandal membuat suara langkahku terdengar, hingga akhirnya langkah kaki ini harus diangkat tanpa suara. Ayat kursi tak berhenti meski dengan bibir yang mulai memucat dengan keringat dingin. Kenapa aku takut? Tidak… tidak … itu kan Ibu.
            “Subhanallah, Ibu?” Tirai korden tersibak, dan benar itu Ibu. Posisi duduk di ruang tamu dengan tangan memegang cangkir ungu berisi wedang kopi yang sama sepertiku. Kebiasaan yang memang tak berubah. Cangkir tergeletak di meja dan tubuh ini segera saja berhambur, kepala ini terseok di atas pangkuan beralaskan daster batik bali keemasan.
            “Kenapa kamu menangis Nak? Apa Ibu mengagetkanmu?”
            “Tidak Bu, hati ini memaksa  Fanny untuk selalu terpaku rindu. Hingga Fanny tak bisa menahan untuk tidak menceritakan semua ini,” daster yang semula kering sekarang membasah seiring mata yang mulai sembab.
            “Ceritakan saja Nak, Ibu akan mendengar semuanya. Ibu tau kau terlalu tangguh untuk bisa menghadapi semua ini.”
            Elusan tangan itu sangat nyata ketika harus berada di atas kepala dan mulai menyentuh ribuan helai rambut yang ikal.
            “Kenapa Fanny selalu gagal mencintai seseorang, Bu. Apa Fanny ini kurang cantik, ndak pintar, dandanan Fanny kuno, atau karena keluarga kita dianggap kurang baik?”  cercaan seperti ini hanya sebuah pembelaan sadis untuk diriku yang memang terkadang mulai menghantui.
            “Kamu terlalu cantik dan baik, Nak. Makanya Gusti Allah ndak sembarangan memilihkan calon untukmu. Coba Ibu lihat,” mencoba menyeka aliran air mata yang membuat mata ini mulai sembab.
            “Kenapa Ibu malah tersenyum,”
            “Bukankah langkahmu masih harus tersambung di antara cita-citamu? Sebagian cita-citamu adalah asa seorang Ibu,” aku terjerembab dalam serangkaian kalimat.
            “Tapi tidakkah Fanny punya kesempatan yang sama meski hanya sekedar menyayangi, Bu? Mereka terlalu menganggap Fanny anak pingit lah, broken home lah, atau kurang perhatian lah. Label itu rasanya tak sebanding dengan pengorbanan Fanny untuk merubah posisi keluarga kita yang sempat carut marut, hingga saat ini sudah mulai membaik. Me .. me .. mereka..,” nadaku terlarut dalam emosi.
            Ulasan sebingkai senyum itu tetap damai dalam kepastian, seolah menerka kegelisahan yang tengah meranjau hatiku.
            “Mereka terlalu sederhana untuk mendapatkan hati emasmu, Nak. Mereka tak pernah melihat jejak langkahmu, yang mereka tau hanya buih ombak di permukaan tanpa tau bahwa di dalamnya tersimpan begitu banyak rangkaian karang indah.”
            Batin ini mengeluh, berharap ada sebuah solusi yang hendak Ibu lontarkan. Hanya jawaban bukan nasihat. Sekali lagi, emosi ini naik level tanpa aku pedulikan dengan siapa aku berbicara. Tidakkah semua jelas, bahwa semua laki-laki akan selalu memandangku sama? Sebodoh itukah mereka yang hanya melihat latar belakang seseorang tanpa melihat proses usaha untuk berubah. Tapi that’s real… ini nyatanya.
            “Kamu belum ngerti? Dewasakan hati dan pikiranmu. Kamu hanya punya sebiji jagung, itu benih jagung manis. Saat sendirian biji jagung itu tak akan berarti, tapi saat kamu tanam dan berbuah nantinya akan membawa manfaat.”
            “Apa maksud Ibu, Fanny butuh jawaban bu. Bagaimana melangkah, bukan nasihat Ibu. Fanny lelah Bu. Sejauh apa lagi aku akan menjaga hati dan tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan yang sebenarnya ada dengan dalih menjaga hati? Dan sejauh mana membuat mereka mengerti dengan keadaan Fanny tanpa memberitahu mereka. Apa Fanny harus tetap menjaga hati?”
            “Hatimu tidak di sangkar emas, Nak. Tapi karena hatimu emas, maka kamu harus benar-benar menjaganya dan Allah yang menjadi sangkarnya. Latar belakang itu masa lalu yang membuatmu berubah, jangan pernah menyalahkannya. Nantinya emas akan bertemu dengan emas.”
            “Ta.. ta.. ta..pi…, Bu… Ibu ….I… Ibu…?”
            Secarik kertas tertoreh dawat, melintas meraba wajah bersama semilir angin. Tersadar bahwa tulisan itu milikku, masih tersendat di tengah kalimat tak tersambung. Pada paragraf terakhir tulisannya semakin tak nampak.
            “Ibu………………….,” aku tercengan mengelap sisa bias air mata. “Astaghfirullah, ini hanya mimpi,”gumamku.
            Rasanya semua ini nyata, satu jam yang lalu aku terkurung dalam tulisan kegalauan di diary  tanpa tau semua ini menjadikan beban dalam benakku. Keheranan ini masih mencabik rona tangis mimpi, Ibu selalu datang saat aku gelisah. Bahkan dalam mimpi aku bisa merasakan kenyataan bahwa beliau sudah tiada, tapi penat ini membulatkan keberanian untuk menatap nyata. Entah kenapa saat dimana aku merasa tak sanggup, Ibu selalu datang.
            Masih tersemai buah nasihat, tanpa terberai maksud perkataan Ibu sesungguhnya. Tapi bagiku itu lebih dari cukup untuk menyelesaikan curhatan di diaryku sampai ke tanda titik. Perasaan ini melemah dalam kelegaan meski tak terjawab.  Aku akan menjaga hati emas ini hingga cita-cita yang sesungguhnya tercapai dan nantinya hati ini akan aku berikan untuk seseorang yang tidak hanya melihat dari permukaan tentang siapa aku.
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar