blue waves

blue waves

Minggu, 03 Agustus 2014

Cerita Senja # Kembalinya Masa Lalu



Obrolan di ujung pagi #

            Aku merengkuh sejuknya pagi dengan tetesan dari ujung mata yang melebur bersama gemericik air wudhu. Tidak ada doa yang terselip untuk sekedar memohon kesucian, yang terdengar hanya nafas yang tertahan kemudian berhembus sesenggukan. Sengaja air yang membasuh muka ini mengalir lebih lama agar rona merah di permukaan mata memudar. Berharap Allah akan menghapuskan segala kegelisahanku. Tapi suasana pagi itu tetapa sama hingga ujung sujud berakhir.
“Fany, adakah satu alasan kenapa terus menangis dalam sujud dan doamu?”, seseorang menepuk pundakku perlahan.
            “Masyaallah Salma?”
Sentuhan hangat itu membuatku menoleh dan menyudahi doa yang terselip dalam tangis. Aku menggantinya dengan senyum manis sembari menyeka wajah dengan ujung-ujung mukena yang basah.
“Hampir satu minggu ini aku tidak mendengar kabarmu Fan? Aku juga tidak melihatmu di mushola, istighotsah di pesantren pun kamu tidak datang, pengajian Ahad juga tidak kau isi.”
“Adakah aku terlihat sedang membuat alasan untuk menangis dan bersujud, selain mengharap ridho dari Allah?”
“Aku tak meragukanmu, apa yang sedang ada dalam fikiranmu sekarang mungkin aku tidak akan pernah tahu Fan, tapi tidak dengan perasaanku sebagai sahabatmu yang bisa menangkap sebuah kegelisahan.”
“Salma, apakah masa lalu masih bisa terulang di masa sekarang?”
“Menurutku bisa dan bahkan seratus persen sebuah sejarah bisa kembali terulang. Tapi semoga masa lalu yang baik yang akan terulang bukan masa lalu yang buruk. Kenapa, Fan,” Salma mengernyitkan kening.
Duduk berbagi bersama Salma memang bisa membuatku tenang. Tidak hanya untuk hari ini bahkan selama hampir sepuluh tahun bersahabat, Salma memang sosok yang bisa menjadi pilar tegak ketika aku menghadapi berbagai permasalahan.
“Oh iya maaf satu minggu kemarin tidak ada kabar. Bang Ardi masuk rumah sakit jadi beberapa hari ini aku jaga disana.”
“Innalilahiwainnailaihiroji’un, sakit apa? Sebentar, kamu jaga disana? Apa Ibu sam Bapak mengizinkan kamu keluar?” posisi duduk Salma semakin mendekat.
“Typus Sal, sudah tiga hari ini. Jangan kaget begitu, aku sudah izin jaga di sana pagi sampai siang. Alhamdulilah Sal, sepertinya Ibu sama Bapak sudah memberikan kepercayaannya untuk Bang Ardi meski belum penuh. Tapi setidaknya kami bisa mengawali hubungan ini dengan baik hingga saatnya nanti kami melangkah.”
“Alhamdulilah, semoga saja Allah semakin memberikan kemantapan hati kepada kalian. Aku ikut senang mendengarnya, Fan. Semoga ini jadi pelabuhan hati pertama dan terakhirmu. Lalu kenapa dengan masa lalu yang kamu tanyakan tadi?”
Hati ini kembali tersentak dengan pertanyaan Salma.  Sudah aku alihkan pembicaraan , tetapi raut muka ini terlalu sendu untuk melemparkan senyum kamuflase.
“Sal, apakah aku pantas meraguan kesungguhan seseorang? Bagaimana jika masa lalu itu kembali dan merengkuh keyakinanku untuk bisa terus berjalan?”
“Untuk apa kamu meragukan sesuatu yang sudah kamu yakini benar. Syubhat hanya akan menimbulkan kegelisahan dalam hatimu. Yakinlah akan sesuatu hal yang baik seperti keyakinanmu atas kuasa Allah. Insyaallah masa lalu tidak akan menggoyahkan langkahmu. Tapi sebenarnya kenapa kamu begitu takut akan masa lalu? Masa lalu siapa yang kamu maksud? Masa lalumu atau Bang Ardi?” Salma mencecar.
“Masa lalu Bang Ardi, kemarin aku tak sengaja melihat sebuah sms tanpa nama di handphone Bang Ardi. Entah mengapa hatiku gusar dengan sms itu meski hanya menayakan kabar dan sebuah perhatian kecil. Aku yakin dan tau meski Bang Ardi tidak bilang. Dia seseorang yang pernah mengisi hidup Bang Ardi sebelum aku,”mataku mulai berkaca-kaca.
“Masyaallah Fany, tidakkah kamu tahu letak ketidak percayaanmu itu-lah yang membuatmu gelisah. Mungkin saja itu dari teman lama. Istighfar, jangan sampai langkahmu memantapkan hati bisa ternoda karena pemikiranmu sendiri.”
            Langit semakin menampakkan seringai cahaya. Subuh yang harusnya mengawali terangnya pagi harus ternoda karena kegelisahanku. Aku bersyukur Salma masih menyelamatkan romansa peralihan waktu, hingga dada ini tak lagi sesak. Aku tahu Salma menangkap dan mengerti arah pembicaraan ini.
            “Fan, doa restu dari kedua orang tua itu sudah menjadi dasar untukmu. Ibu dan Bapak sepertinya sudah memberikan kamu kesempatan melangkah. Jangan kecewakan mereka dengan keraguanmu.”
            Ku genggam tangan Salma erat, ketakutan ituah masih tetap ada. Tentang seseorang yang menjadi masa lalu Bang Ardi.  Yang tidak pernah dia ceritakan dari mulutnya sendiri, sedang aku mengetahuinya dari orang lain. Ketakutanku menjadi ketika seseorang itu kembali menarik benang merah saat aku mencoba menggumpulkan serpihan puzzle kehidupan Bang Ardi.
            “Aku memang harus menjaga amanah Ibu dan Bapak Sal, makanya aku sangat takut kehilangan.”
            “Ini semua Allah yang rencanakan, jangan terlalu berlebihan juga Fan, kamu tak bisa menggenggam pasir dengan utuh hingga masuk ke dalam botol. Pastinya akan ada pasir yang terlepas meski kamu genggam seerat apapun.”
            Kata-kata terakhir itu menyibak pilar ketegaran dan mengubahnya kembali menjadi tetesan air mta.
            Kata-kata itu memberikan arti yang begitu dalam. Setiap kenangan yang ditorehkan pastinya bisa terjadi lagi kapanpun jika Allah menghendaki. Aku tak bisa menggenggam hati Bang Ardi erat, karena hati itu masih rapuh akan bayang-bayang masa lalu. Aku harus siap sebelum Bang Ardi menjadi halal untukku dan ketika itu pula masa lalunya kembali datang untuk merengkuh hatinya. Apapun yang terjadi nanti aku sudah pernah ada dan selalu berusaha menjadi lentera saat gelap menjadi tabir di hidup Bang Ardi.  Iya siap, aku sudah siap bahkan untuk melepaskanya.

#Lakukan saja yang terbaik, saat suatu hal yang kamu usahakan akhirnya harus pergi maka ikhlaskanlah. Jadilah muslimah tangguh. Jangan jatuh karena cerita masa lalu,  karena masa depanmu terlalu sayang untuk dilewatkan.
   

1 komentar: