Obrolan di ujung pagi #
Aku merengkuh sejuknya pagi dengan
tetesan dari ujung mata yang melebur bersama gemericik air wudhu. Tidak ada doa
yang terselip untuk sekedar memohon kesucian, yang terdengar hanya nafas yang
tertahan kemudian berhembus sesenggukan. Sengaja air yang membasuh muka ini
mengalir lebih lama agar rona merah di permukaan mata memudar. Berharap Allah
akan menghapuskan segala kegelisahanku. Tapi suasana pagi itu tetapa sama hingga
ujung sujud berakhir.
“Fany, adakah satu alasan kenapa terus menangis dalam sujud
dan doamu?”, seseorang menepuk pundakku perlahan.
“Masyaallah Salma?”
Sentuhan hangat itu membuatku menoleh dan menyudahi doa yang
terselip dalam tangis. Aku menggantinya dengan senyum manis sembari menyeka
wajah dengan ujung-ujung mukena yang basah.
“Hampir satu minggu ini aku tidak
mendengar kabarmu Fan? Aku juga tidak melihatmu di mushola, istighotsah di
pesantren pun kamu tidak datang, pengajian Ahad juga tidak kau isi.”
“Adakah aku terlihat sedang membuat alasan untuk menangis dan
bersujud, selain mengharap ridho dari Allah?”
“Aku tak meragukanmu, apa yang sedang ada dalam fikiranmu
sekarang mungkin aku tidak akan pernah tahu Fan, tapi tidak dengan perasaanku
sebagai sahabatmu yang bisa menangkap sebuah kegelisahan.”
“Salma, apakah masa lalu masih bisa terulang di masa
sekarang?”
“Menurutku bisa dan bahkan seratus persen sebuah sejarah bisa
kembali terulang. Tapi semoga masa lalu yang baik yang akan terulang bukan masa
lalu yang buruk. Kenapa, Fan,” Salma mengernyitkan kening.
Duduk berbagi bersama Salma memang bisa membuatku tenang.
Tidak hanya untuk hari ini bahkan selama hampir sepuluh tahun bersahabat, Salma
memang sosok yang bisa menjadi pilar tegak ketika aku menghadapi berbagai
permasalahan.
“Oh iya maaf satu minggu kemarin tidak ada kabar. Bang Ardi
masuk rumah sakit jadi beberapa hari ini aku jaga disana.”
“Innalilahiwainnailaihiroji’un, sakit apa? Sebentar, kamu
jaga disana? Apa Ibu sam Bapak mengizinkan kamu keluar?” posisi duduk Salma
semakin mendekat.
“Typus Sal, sudah tiga hari ini. Jangan kaget begitu, aku sudah
izin jaga di sana pagi sampai siang. Alhamdulilah Sal, sepertinya Ibu sama
Bapak sudah memberikan kepercayaannya untuk Bang Ardi meski belum penuh. Tapi setidaknya
kami bisa mengawali hubungan ini dengan baik hingga saatnya nanti kami
melangkah.”
“Alhamdulilah, semoga saja Allah semakin memberikan
kemantapan hati kepada kalian. Aku ikut senang mendengarnya, Fan. Semoga ini
jadi pelabuhan hati pertama dan terakhirmu. Lalu kenapa dengan masa lalu yang
kamu tanyakan tadi?”
Hati ini kembali tersentak dengan pertanyaan Salma. Sudah aku alihkan pembicaraan , tetapi raut
muka ini terlalu sendu untuk melemparkan senyum kamuflase.
“Sal, apakah aku pantas meraguan kesungguhan seseorang?
Bagaimana jika masa lalu itu kembali dan merengkuh keyakinanku untuk bisa terus
berjalan?”
“Untuk apa kamu meragukan sesuatu
yang sudah kamu yakini benar. Syubhat hanya akan menimbulkan kegelisahan dalam
hatimu. Yakinlah akan sesuatu hal yang baik seperti keyakinanmu atas kuasa
Allah. Insyaallah masa lalu tidak akan menggoyahkan langkahmu. Tapi sebenarnya
kenapa kamu begitu takut akan masa lalu? Masa lalu siapa yang kamu maksud? Masa
lalumu atau Bang Ardi?” Salma mencecar.
“Masa lalu Bang Ardi, kemarin aku tak sengaja melihat sebuah
sms tanpa nama di handphone Bang Ardi. Entah mengapa hatiku gusar dengan sms
itu meski hanya menayakan kabar dan sebuah perhatian kecil. Aku yakin dan tau meski
Bang Ardi tidak bilang. Dia seseorang yang pernah mengisi hidup Bang Ardi
sebelum aku,”mataku mulai berkaca-kaca.
“Masyaallah Fany, tidakkah kamu tahu letak ketidak percayaanmu
itu-lah yang membuatmu gelisah. Mungkin saja itu dari teman lama. Istighfar,
jangan sampai langkahmu memantapkan hati bisa ternoda karena pemikiranmu
sendiri.”
Langit semakin menampakkan seringai
cahaya. Subuh yang harusnya mengawali terangnya pagi harus ternoda karena
kegelisahanku. Aku bersyukur Salma masih menyelamatkan romansa peralihan waktu,
hingga dada ini tak lagi sesak. Aku tahu Salma menangkap dan mengerti arah
pembicaraan ini.
“Fan, doa restu dari kedua orang tua
itu sudah menjadi dasar untukmu. Ibu dan Bapak sepertinya sudah memberikan kamu
kesempatan melangkah. Jangan kecewakan mereka dengan keraguanmu.”
Ku genggam tangan Salma erat, ketakutan
ituah masih tetap ada. Tentang seseorang yang menjadi masa lalu Bang Ardi. Yang tidak pernah dia ceritakan dari mulutnya
sendiri, sedang aku mengetahuinya dari orang lain. Ketakutanku menjadi ketika
seseorang itu kembali menarik benang merah saat aku mencoba menggumpulkan
serpihan puzzle kehidupan Bang Ardi.
“Aku memang harus menjaga amanah Ibu
dan Bapak Sal, makanya aku sangat takut kehilangan.”
“Ini semua Allah yang rencanakan,
jangan terlalu berlebihan juga Fan, kamu tak bisa menggenggam pasir dengan utuh
hingga masuk ke dalam botol. Pastinya akan ada pasir yang terlepas meski kamu
genggam seerat apapun.”
Kata-kata terakhir itu menyibak
pilar ketegaran dan mengubahnya kembali menjadi tetesan air mta.
Kata-kata itu memberikan arti yang
begitu dalam. Setiap kenangan yang ditorehkan pastinya bisa terjadi lagi
kapanpun jika Allah menghendaki. Aku tak bisa menggenggam hati Bang Ardi erat,
karena hati itu masih rapuh akan bayang-bayang masa lalu. Aku harus siap
sebelum Bang Ardi menjadi halal untukku dan ketika itu pula masa lalunya
kembali datang untuk merengkuh hatinya. Apapun yang terjadi nanti aku sudah
pernah ada dan selalu berusaha menjadi lentera saat gelap menjadi tabir di
hidup Bang Ardi. Iya siap, aku sudah
siap bahkan untuk melepaskanya.
#Lakukan saja yang terbaik, saat suatu hal yang kamu usahakan akhirnya harus pergi maka ikhlaskanlah. Jadilah muslimah tangguh. Jangan jatuh karena cerita masa lalu, karena masa depanmu terlalu sayang untuk dilewatkan.
Nice info, thanks for share, oh ya saya mau berbagi, baru saja saya menemukan Video Viral tentang Hobby jadi Bisnis trus minum Kopi Terbaik sambil simak Media Kalteng baca tentang Paid Promote / Paid Partnership untuk Jual Akik Gambar buat beli Transfer paper tahan cuci Lebihnya buat cari jasa desain konten instagram
BalasHapus