Tanganku masih gemetar, setelah meneguk wedang kopi dalam
cangkir ungu. Mata ini meliririk mengikuti sebuah bayangan, hingga tepat di
pojok almari jati. Terlihat samar berbaur dengan warna plitur kecoklatan. Aroma
mistis mendominasi ruangan bercahaya lampu dop 5 watt.
“Ibu,” aku tersentak. Korden
disamping almari melambai, menguatkan bahwa benar ada seseorang yang
melewatinya. Aku yakin itu Ibu.
Sandal membuat suara langkahku
terdengar, hingga akhirnya langkah kaki ini harus diangkat tanpa suara. Ayat
kursi tak berhenti meski dengan bibir yang mulai memucat dengan keringat
dingin. Kenapa aku takut? Tidak… tidak … itu kan Ibu.
“Subhanallah, Ibu?” Tirai korden
tersibak, dan benar itu Ibu. Posisi duduk di ruang tamu dengan tangan memegang
cangkir ungu berisi wedang kopi yang sama sepertiku. Kebiasaan yang memang tak
berubah. Cangkir tergeletak di meja dan tubuh ini segera saja berhambur, kepala
ini terseok di atas pangkuan beralaskan daster batik bali keemasan.
“Kenapa kamu menangis Nak? Apa Ibu
mengagetkanmu?”
“Tidak Bu, hati ini memaksa Fanny untuk selalu terpaku rindu. Hingga
Fanny tak bisa menahan untuk tidak menceritakan semua ini,” daster yang semula
kering sekarang membasah seiring mata yang mulai sembab.
“Ceritakan saja Nak, Ibu akan
mendengar semuanya. Ibu tau kau terlalu tangguh untuk bisa menghadapi semua
ini.”
Elusan tangan itu sangat nyata
ketika harus berada di atas kepala dan mulai menyentuh ribuan helai rambut yang
ikal.
“Kenapa Fanny selalu gagal mencintai
seseorang, Bu. Apa Fanny ini kurang cantik, ndak pintar, dandanan Fanny kuno,
atau karena keluarga kita dianggap kurang baik?” cercaan seperti ini hanya sebuah pembelaan
sadis untuk diriku yang memang terkadang mulai menghantui.
“Kamu terlalu cantik dan baik, Nak.
Makanya Gusti Allah ndak sembarangan memilihkan calon untukmu. Coba Ibu lihat,”
mencoba menyeka aliran air mata yang membuat mata ini mulai sembab.
“Kenapa Ibu malah tersenyum,”
“Bukankah langkahmu masih harus
tersambung di antara cita-citamu? Sebagian cita-citamu adalah asa seorang Ibu,”
aku terjerembab dalam serangkaian kalimat.
“Tapi tidakkah Fanny punya kesempatan
yang sama meski hanya sekedar menyayangi, Bu? Mereka terlalu menganggap Fanny
anak pingit lah, broken home lah, atau
kurang perhatian lah. Label itu rasanya tak sebanding dengan pengorbanan Fanny
untuk merubah posisi keluarga kita yang sempat carut marut, hingga saat ini
sudah mulai membaik. Me .. me .. mereka..,” nadaku terlarut dalam emosi.
Ulasan sebingkai senyum itu tetap damai
dalam kepastian, seolah menerka kegelisahan yang tengah meranjau hatiku.
“Mereka terlalu sederhana untuk
mendapatkan hati emasmu, Nak. Mereka tak pernah melihat jejak langkahmu, yang
mereka tau hanya buih ombak di permukaan tanpa tau bahwa di dalamnya tersimpan
begitu banyak rangkaian karang indah.”
Batin ini mengeluh, berharap ada
sebuah solusi yang hendak Ibu lontarkan. Hanya jawaban bukan nasihat. Sekali
lagi, emosi ini naik level tanpa aku pedulikan dengan siapa aku berbicara.
Tidakkah semua jelas, bahwa semua laki-laki akan selalu memandangku sama?
Sebodoh itukah mereka yang hanya melihat latar belakang seseorang tanpa melihat
proses usaha untuk berubah. Tapi that’s
real… ini nyatanya.
“Kamu belum ngerti? Dewasakan hati
dan pikiranmu. Kamu hanya punya sebiji jagung, itu benih jagung manis. Saat
sendirian biji jagung itu tak akan berarti, tapi saat kamu tanam dan berbuah
nantinya akan membawa manfaat.”
“Apa maksud Ibu, Fanny butuh jawaban
bu. Bagaimana melangkah, bukan nasihat Ibu. Fanny lelah Bu. Sejauh apa lagi aku
akan menjaga hati dan tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan yang sebenarnya
ada dengan dalih menjaga hati? Dan sejauh mana membuat mereka mengerti dengan
keadaan Fanny tanpa memberitahu mereka. Apa Fanny harus tetap menjaga hati?”
“Hatimu tidak di sangkar emas, Nak.
Tapi karena hatimu emas, maka kamu harus benar-benar menjaganya dan Allah yang
menjadi sangkarnya. Latar belakang itu masa lalu yang membuatmu berubah, jangan
pernah menyalahkannya. Nantinya emas akan bertemu dengan emas.”
“Ta.. ta.. ta..pi…, Bu… Ibu ….I…
Ibu…?”
Secarik kertas tertoreh dawat,
melintas meraba wajah bersama semilir angin. Tersadar bahwa tulisan itu
milikku, masih tersendat di tengah kalimat tak tersambung. Pada paragraf
terakhir tulisannya semakin tak nampak.
“Ibu………………….,” aku tercengan
mengelap sisa bias air mata. “Astaghfirullah, ini hanya mimpi,”gumamku.
Rasanya semua ini nyata, satu jam
yang lalu aku terkurung dalam tulisan kegalauan di diary tanpa tau semua ini menjadikan beban dalam
benakku. Keheranan ini masih mencabik rona tangis mimpi, Ibu selalu datang saat
aku gelisah. Bahkan dalam mimpi aku bisa merasakan kenyataan bahwa beliau sudah
tiada, tapi penat ini membulatkan keberanian untuk menatap nyata. Entah kenapa
saat dimana aku merasa tak sanggup, Ibu selalu datang.
Masih tersemai buah nasihat, tanpa
terberai maksud perkataan Ibu sesungguhnya. Tapi bagiku itu lebih dari cukup
untuk menyelesaikan curhatan di diaryku sampai ke tanda titik. Perasaan ini
melemah dalam kelegaan meski tak terjawab.
Aku akan menjaga hati emas ini hingga cita-cita yang sesungguhnya
tercapai dan nantinya hati ini akan aku berikan untuk seseorang yang tidak
hanya melihat dari permukaan tentang siapa aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar