KUTIPAN SEMUT
Tidak ada ilham yang mampir
sama sekali di setiap sudut malam, tidak terkecuali malam ini. Sampai
jarum jam bergeser perlahan menuju angka tiga, tangan ini hanya terpaku di atas
keyboard melihat delik jajaran huruf dan angka. Lembar Microsoft Word masih
berjudul (document1) tanpa jejak.
“Masya’Allah, kenapa jadi macet gini
sih! .Padahal deadline editing tinggal
tiga hari lagi. Ayo dong Ay!” gemuruh dalam hati menyemangati beriringan dengan omelan kecil lambat laun
terdengar jelas memecah di keheningan malam.
“Istirahat dulu Ay, dipaksa terus
hasilnya malah ndak bagus.”
“Mending bu hasilnya jelek, kan bisa
di revisi, lah ini tak ada goresan sama sekali di lembar computer Ayla. Ibu,
kenapa belum tidur?”
“Sudah lima jam kamu di depan
laptop, dan sudah satu`jam juga Ibu dengar kamu ngomel. Sudah Nak, istirahat
dulu.”
“Bagaimana Ayla bisa istirahat tenang
bu, kalau target ndak terkejar nanti pembayaran juga lambat, kalau sudah lambat
bagaimana kebutuhan dirumah bisa terpenuhi, siapa yang akan bayar listrik, air,
biaya sekolah, dan semuanya.”
Rasa asam merebak di seluruh
permukaan mulut ini. Emosi mendaulat jantungku untuk berdetak sopran. Senyuman simpul Ibu tersudut di
temani setetes bulir air mata.
“Kenapa Ibu tersenyum, apa Ibu juga
ndak peduli lagi sama Ayla. Jawab bu,” tangisanku tersesesat di sepertiga
malam, dengan serentetan omelan yang sama sekali tak mengurangi estetika
emosi.
“Nak, luapkan saja semuanya jika itu
membuat sesak di dadamu terkikis, meski tak bisa hilang.”
Suara Ibu meluber dan sekejab seolah
hipnotis emosiku mereda, menyisakan guratan penyesalan, “Apa yang sudah
kulakukan?, bicara dengan siapa aku?”
Pelukan menyambar seperti kilat,
hingga Ibu terhuyung di dekap pelukanku. Ya Allah, diri ini terlihat bodoh di
mata-Mu. Rasanya ingin segera amnesia dengan kelakuanku tadi.
“Maafkan Ayla, bukan maksud Ayla…”
“Ibu mengerti Ay, harusnya Ibu yang
minta maaf. Ibu bangga memilikimu Nak.”
Tidak ada yang harus disalahkan
dalam hal ini baik Ibu maupun aku, harusnya Ayah yang minta maaf. Wajar saja
jika aku berontak, mata batinku sudah layu dengan sosok berstatus “Ayah”. Tidak
ada pula usaha yang berarti sejak sepuluh tahun lalu. Sebagai kepala keluarga
rasanya sudah hilang fungsi.
____
Semua usai di penghujung pagi, damai setelah sholat subuh
membuat sejenak tersungkur di meja penuh serakan kertas. Mata ini terasa
mengembang dan merah, sisa tragedi sepertiga malam. Terbelit kronologi yang
miris, hingga tertinggal kewajiban mengejar deadline.
“Alhamdulilah, Ya Allah masih Engkau izinkan aku melihat
pagi.” J
Segera saja kamera DSLR tipe CANON EOS 600 keluaran terbaru
hadiah dari lomba resensi novel kuraih sigap dari loker. Aku tidak mau
kehilangan moment penting di ufuk timur, sekalian saja melemaskan untuk memencet
setiap tombol kamera yang belum aku kuasai. Kujepret sekenanya, setelahnya jepretan ini tersorot pada seekor seekor
semut sedang sendiri menggendong separuh butir nasi yang entah dari mana
asalnya. Langsung saja semua jepretan kucetak untuk melihat hasilnya.
Sebuah tulisan kuselipkan di antara beberapa cetakan “Subhanallah,
semut saja sepagi ini sudah menggendong biji nasi. Tidakkah dia sebagai kepala
keluarga dia sudah bertanggung jawab atas keluarganya. Tak seberapa yang
dihasilkan, tapi sudah cukup menunjukkan sebuah usaha yang berarti.”
Semua masih tercecer di atas meja, hingga aku harus berangkat
ke kantor.
-----
“Jika
hari ini kesempatan masih tersisa, izinkan Ayah kembali memelukku dan meminta
maaf. Sementara aku percayakan keluarga ini kepadamu hingga semua kembali
membaik. Oh iya Ayla, maaf ya fot semut di atas meja terpaksa ayah bawa, itu
yang akan menguatkan ayah untuk terus mengingat anak sulung ayah. Maafkan
Ayah.”
“Ibu…. Ayah …… Bu ayah kemana bu?”
rasa panik ini mulai meretas.
“Ayahmu hanya menitipkan surat yang
ditaruh di atas meja kerja. Ayah mendengar pertengkaran semalam dan pagi tadi
tiba-tiba Ayahmu pamit untuk merantau,” terisak tangis, raut muka menebar rona
kepedihan.
“Ya Allah, apa yang telah aku
lakukan. Mengusir Ayahku sendiri?” aku tak kalah menyesal tersandar di ujung
beranda dengan pandangan kosong.
Tembok itu mendengar dan bisa
berbicara, harusnya aku diam dan diam. Tak kurang rasa syukur kupanjatkan, tapi
kenapa hatiku malah menghakimi keadaan Ayah. Ampuni aku Ya Rabb. Disatu sisi
aku bahagia karena ada keinginan untuk ayah berubah, tapi di sisi lain aku
menyebabkan raut duka di wajah ibu. Semua sudah menjadi rajutan kelam, aku
ingin mengurainya tanpa air mata. Jangan pernah menyesali setiap keadaan,
harusnya aku bersyukur Allah masih mencukupkan segalanya. Semua bisa berubah
dalam sehari, tapi juga bisa kehilangan dalam sehari.
#Mendung di penghujung pagi#'14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar