Teriakan-teriakan kecil memekik di
antara cucuran air yang terisak. Karung-karung berjejer, nampan-nampan hilir
mudik. Wangi ronce melati, daun pandan, dan kenanga menjadi tabir di bilik
sempit. Tergambar di luar pandangan, beberapa orang terlihat menorehkan dawat
di antara batu tegak. Hening , tenang, dan damai di tengah sesenggukan.
“Mbak… ini nampannya,” lamunanku
mereda.
“Iya Mbak, terima kasih,” senyumku
tersimpul sembari mengulurkan tangan bersalaman.
Tangan yang lain ikut berjabat sebagai tanda hormat. Tangis
ini bukan tangis haru, senyum ini hanya sebagai tanda menguatkan, pelukan ini
bukan pelukan rindu tapi sebagai penghibur. Seseorang di sudut ruangan terlihat
tanpa daya, mendekap kadua kaki yang tengah ditekuk. Jilbab biru mudanya tak
sempat mengering. Terlalu banyak air mata yang mengalir.
“Ya Allah, fase ini juga kah yang akan aku lalui,” desahku
bergetar.
***
“Asna, sudah ya hapus air matamu,” dia menoleh tajam.
Pelukan Ibu paruh baya itu terasa begitu hangat, Asna hanya
tersenyum acuh. Air mata itu palsu, dia hanya tersulut animo orang-orang di sekitar dan sanak saudara
yang juga menangis. Asna menirukan tangisan mereka, tapi semakin dia menangis
semakin banyak orang yang memeluknya.
“Mbah uti, bunda Asna kenapa meninggal?”
“Iya Asna, itu karena Allah sayang sekali sama Bunda. Jadi
Bunda meninggal lebih dulu.”
Tanya itu terasa polos untuk anak knelas 5 SD seperti Asna. Meski pegertian ‘meninggal’ sudah di bahas di
pelajaran agama dan sudah di terangkan oleh murobbi-nya,
perasaan Asna tak cukup peka untuk benar-benar mengerti arti kehilangan.
“Mbah uti, berarti tadi pagi malaikat Izroil datang kesini
ya? Kasihan bunda, kata Ustad Mufti kalau orang mau meninggal itu sakit.”
“Iya Nak, tapi Asna kan anak yang baik, sholihah, dan selalu
mendoakan Bunda, jadi Insya Allah malaikat Izroil tidak akan menyakiti Bunda,”
nenek yang di panggil uti itu memeluk Asna erat menekan dadanya yang sesak
berharap tak mengurai air mata.”
“Oh iya iya, Pak Ustad juga bilang kalau doa anak itu bisa bikin
Bunda tersenyum. Pak Ustad juga bilang Uti, kalau orang tua kita meninggal kita
ndak boleh nangis. Mbah Uti jangan nangis ya, nanti Bunda ikut nangis,” mata
sipitnya menatap sayu.
“Subhanallah, terima kasih sungguh bermanfaat ilmu darimu
Ustad. Kau memberikan kekuatan untuk putri kecil ini.”
Dari sinilah peran seorang murobbi itu nampak. Tapi hati nenek mana yang tak tersayat,
meliihat perempuan kecil di depannya mengungkap tanya yang mencekat. Kali ini
tangisan nenek terhenti, tak lagi karena rasa kehilangan melainkan karena
melihat setangkup cahaya masa depan untuk cucu tercintanya.
“Hiks hiks… Uti, Asna mau Bunda bangun,” telunjuk Asna
terampil mengayuh tangan Uti.
Mata Asna tersudut jelas di keranda bertudung kain hijau,
bertirai ronce kembang. Sesekali terdengar desah nafas sesenggukan tanpa air
mata, meski Asna tak paham mengapa Ia
harus menangis. Bukankah Allah sayang Bunda? Kenapa semua orang menangis?. Mbah uti terlihat menata puing-puing
ketegaran hingga Asna tak lagi merengek meminta Sang Bunda bangun. Tangan
rentanya menggenggam tangan mungil Asna dan membimbing lembut ke pipi Bundanya.
“Bunda cantik ya, As.” Kembali air mata itu menetes.
***
“Mbak-mbak… Mbak Asna,” seseorang
menggoyang pundakku.
“Eh, Iya Rani,” lamunanku tersentak
dengan buliran air yang menetes.
“Mbak Asna nangis. Ayo mbak
jenazahnya sudah mau dikebumikan, sudah selesai disholati. Ngelamun apa sih
Mbak Asna?”
“Ih, apa sih Ran. Alhamdulillah ya
Ran, semua proses terasa cepat sekali. Pelayat yang datang juga banyak.
Subhanallah, semoga Allah melapangkan Jalan Bu. Mariani,”
“Orang baik balasannya baik mbak,
Insya Allah. Amin…,” suara Rani mengekor.
Ya Allah hari ini entah kenapa perasaan
kehilangan merong-rong rongga dada.
Meski beliau hanya tetangga karena perbuatan baik beliau semasa hidup
membuat semua orang disekitarnya merasa kehilangan. Kehilangan??? Iya aku bisa
merasakannya sekarang. Jadi begini rasa kehilangan.
Maaf Bunda, Asna tidak bisa memelukmu kala itu, tak bisa
menciummu kala itu, tidak bisa menggenggammu. Tapi meski demikian aku
bersyukur, seandainya dulu aku sudah faham mungkin aku lebih merasa terpukul.
Ya Allah jika hari ini Kau telah mengizinkanku merasakan begitu sakitnya
kehilangan orang yang kita sayangi, Ya Allah aku mohon jangan Kau membuatku
kehilangan untuk kedua kalinya dengan waktu yang singkat. 15 tahun yang lalu cukup
menjadi rangkaian episode dari Mu. Sekarang izinkankan aku menjaga
orang-orang yang menyangiku karena Mu.
Amin ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar