Lingkaran Ta'aruf
Seringai mentari menyorot serumpun koloni semut yang
membawa butiran-butiran roti sisa. Merantai di ujung meja hingga tersusun
laksana kereta pagi. Telunjuk ini jahil menyentuh rentetan yang menggelitik
hingga barisannya terpecah, tapi kemudian mereka kembali lagi membentuk barisan.
Tak ada salahnya menyambut pagi ini seperti semut yang selalu tampak semangat
dan saling tolong menolong.
“Syafa… Syafa … Loh kok malah melamun, ayo sarapan! Semua
sudah menunggu di meja makan.”
“Iya, iya Umi. Syafa ganti baju dulu.”
Astaghfirullahaladzim, kepingan cerita masih terpatri
jelas di benak ini. Perkenalan dengan seseorang di sebuh instansi satu bulan
yang lalu mengukir sejarah untuk bisa membuat aku berdecak kagum. Aku hanya
bisa melongo, “Subhanallah…” Allah menciptakan seseorang dengan segala
kelebihannya. Tak banyak kata yang terucap, hanya tersudut senyum sebagai
isyarat. Ilmu keagamaan yang dimiliki, menjadikan dia sosok yang teduh.
Hari-hari berlalu jiwa ini terisi dengan sebuah perubahan besar, Hingga aku
mantap untuk menyebut semua ini ta’aruf.
Meninggalkan
koloni semut dengan secerca lamunan untuk bergegas ganti baju dan menuju ruang
perjamuan sarapan.
“Loh, kok, ya, kok?” Abi memberhentikan tangan yang
hendak menyendok sayur lodeh, dan melongo.
“Ih, Abi kok sebegitunya liatin Syafa. Apa ada yang aneh?
Apa masih ada kotoran di wajah Syafa?”
Senyum
kecut sembari menggosok-gosok wajah dengan tangan. Belum sempat selesai, yang
lain malah mengekor untuk kembali menatapku. Abi, Ibu, Bulek, Mbak Rani semua
ikut andil memandangku dengan ekspresi menahan tawa yang hendak menyembur.
“Umi,
rupanya anak Abi sekarang mau ikut trend mode 1990.”
“Ooo,
jadi karena khimar ini? khimar ini kan jilbab syar’i Abi, sebagai seorang
muslimah kita harus mengenakannya.”
“Hmm
ternyata ndak cuma cantik tapi juga tambah pintar rupanya. Bukan begitu, yang
Abi heran kok tiba-tiba berubah gini, Abi mencium ada udang di balik-balik ini.”
“Di
balik batu Abi … hmm …” Cubitan sayang seorang anak melayang di antara obrolan
pagi yang menambah suasana hangat. Abi
hanya meringis kuda, diikuti gelak tawa anggota keluarga yang lain.
“Belakangan
Abi lihat ada banyak perubahan, sering chatting sama siapa?, sekarang pakai
khimar buat siapa?, sekarang juga getol banget ikut Umi pengajian,” Wajahku
mulai menunjukkan indikasi terpojok.
“Lagi
ta’aruf Bi,” melengos saja hingga semua tersentak dalam diam. Suasana menjadi
sedikit dingin, jawaban tadi seolah menghipnotis semua peserta sarapan. Hingga
ritual pagi ini selesai semua masih dalam keadaan yang sama. “Kenapa? Ada yang
salah?” pikirku dalam hati.
-----
:08.00WIB
“Bang
Awan, kok … ndak ketok pintu?”
Mata
ini buru-buru memicing, beribu kata “tumben” berlari-lari di pikiran.
Kedatangan nya yang tak biasa mendaulat
perasaan seolah ini semua modus belaka. Lagi pula baru kali ini ada seorang
laki-laki yang berani melangkahkan kaki ke rumah mencari putri bungsu Pak
Riwayadi. Seorang Syafa yang terkenal dengan “anak pingit” di datangi seorang
laki-laki bertubuh gagah, hitam eksotis, dan manis. What???, seolah jenggot
yang terbakar kalah dengan tingkahkku. Entah harus senang atau sedih, aku tak
tahu.
“Loh,
ini Nak Awan to? Kok pagi-pagi sekali.” Tiba-tiba saja Umi muncul bersama
serbet dapur ajaib dari balik pintu. Nada sopran degup jantung ini mulai
melemah.
“Eh
ada Ibu, mau antar laporan ke Syafa. Kemarin rupanya ketinggalan di meja kantor,
kan hari ini Syafa ndak masuk kerja takutnya kalau laporan ini penting.”
“Astaghfirullah,
pantes saja semalam mau dikerjakan malah hilang entah kemana. Sampai loker
dibongkar tetep ndak ketemu. Makasih ya Bang.” Senyuman ini terlihat kaku alias
malu, kebiasaan pelupa rasnya sudah jadi menu andalan setiap harinya. Bukan
hanya itu, terlanjur suudzon sama orang itu yang bahaya.
“Awan
pamit dulu ya Fa, Bu, mari.”
“Loh
ndak masuk dulu to, kok keburu-buru.”
“Ngapunten (maaf), terima kasih. Keburu
pak bos datang. Syafa mau berangkat ke kampus sekarang? Mau bareng ke depan
gang?”
Suara
Umi tadi terlihat sekali basa-basi, hanya mempersilakan kemudian malah
ditinggal masuk.
“Iya
Bang … eh maksud Syafa terima kasih, nanti bawa motor sendiri. Hari ini kan
ujian jadi berangkatnya pagi. Makanya Syafa bolos kerja dulu.”
Masih
terukir bias semu merah di pipi. Sembari mengingat-ingat apa struktur jawaban
tadi sudah benar? Rasa-rasanya semrawut.
“Abang
jalan dulu Fa, Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Derum supra 125 D, lambat-laun menghalus dan menghilang bersama jajaran angin.
Setelah
kejadian ajaib tadi segera saja berlalu. Hari-hari berikutnya bang Awan sering
sekali mengutit waktu pagiku. Entah itu hanya sekedar melambaikan tangan,
memamerkan senyum pepsodent, sampai berdalih mengantarkan sesuatu. Keajaiban
amnesia, menjadi ladang subur untuk sekedar bertemu diwaktu pagi. Perhatian
yang tidak biasa mulai nampak di permukan, entah itu di rumah maupun di kantor.
Lama-lama hati ini bekerja, dan masih terus menyisakan tanda tanya. “Sudahlah,
huallahua’lam. Semoga saja semua yang dilakukan Bang Awan ikhlas karena Allah
semata.”
_____
Sepiring
jemblem (makanan dari singkong parut
dengan isian gula merah) dengan kombinasi secangkir teh tarik menimbulkan efek
manis di setiap gigitan dan tegukannya. Gerimis mengekor menjadi hujan. Pojok
beranda tetap hangat dengan sentilan-sentilan dialog ala keluarga Bapak
Riwayadi. Sofa terlihat penuh, aku berada pada posisi tegak tersisih 3 meter
dari mereka tapi pandangan ini tak terhalang apapun untuk tetap merasakan
canda-tawa.
“Hmm…
apa ya, gimana smsnya?, haduh kok jadi ribet.”
Jemari ini masih terampil memencet key pad
BB8520, mengotak- atik kata yang pas. Harus di awali salam, harus sopan,
sedikit intelek, dan sedikit dipikir
supaya ndak kelihatan aku yang ingin tahu keadaannya. Edisi ngeles, padahal
memang sedikit galau ingin sekedar tahu bagaimana keadaannya. Meski sering
bertemu semuanya masih terlihat kaku. Ketik, hapus, ketik, hapus, ketik lagi,
hapus lagi. Beberapa saat muncul sedikit cahaya pikiran meski hanya seterang
lampu cempluk. Rasanya jurus ini tepat,
meski terlihat basa-basi bisa juga sebagai antisipasi ketika balasannya singkat
seperti biasa aku tidak terlalu cemas karena malu. Terkadang cuma “ya” atau
biasanya mampir “boleh atau tidak”, paling mantep lagi balasan cuma icon
senyum. Akhirnya sms ini yang mengawali.
“Assalamu’alaikum,
ngopi enak ya. J”
“Syafa…
Syafa, berapa kali Abi harus manggil. Sini-sini, duduk samping Abi.”
“Iya
bi, ada apa. Mau kopi?” Sesekali mata ini tertuju pada led BB yang tak kunjung
menyala.
“Kenapa,
Abi perhatikan kok gelisah. Smsnya ndak dibalas?”
“Ih
apa to Bi, nggak kok. Hanya menanti jawaban saja. Hehe…” Menyeringai senyum
mulus, dengan ornament jemblem yang masih penuh di mulut.
“Bagaimana
ta’arufnya?”
“Alhamdulilah
lancar Abi,” jawabku mantap.
“
Bagaimana ndak lancar, tiap pagi ada yang mampir, setiap hari ketemu, setiap
saat bisa sms. Hati-hati nempel sama nafsu ujung-ujungnya ma’siat.”
“Masya
Allah Abi, kok jadi doakan Syafa. Ndak lah, Syafa Insya Allah faham bagaimana
harus bersikap.”
Di
tengah obrolan led BB menyala, segera saja tangan ini sigap mengetik password
di layar. “Iya, ini lagi ngopi. Kapan ya
Ada waktu ngopi bareng, atau buatakan saya kopi?”. Jemblem yang masih belum
terkunyah lembut seketika tertelan hingga mataku melotot,
“Subhanallah,”
langka dalam batin bingung harus replay apa,
pencet keypad jadi salah-salah. Selang sedikit lama akhirnya aku balas dengan
penuh harap tapi tetap sesuai prosedur. Balas-membalas ini tak berlansung lama
dan dramatis, tapi cukup menyisakan lampu hijau dalam hati. Tentu saja efeknya
pasti happy ending.
“Ehm…
kok Abi jadi ditinggal sms, dari siapa sih?” terlihat keramaian meninggalkan
Abi dan putri cantiknya ini.
“Astaghfirullah,
Em, anu Bi.. ehm teman,” suara Abi hampir saja membuat BB terlepas dari
genggaman.
“Syafa,
abi hanya mau meluruskan, jangan sampai kamu salah tafsir mengenai ta’aruf.
Memangnya apa kamu sudah faham mengenai ta’aruf?”
“Kan
Syafa ndak pacaran Bi, niat Syafa dalam hati karena Allah semata. Hati ini
mantap dan nyaman ketika Syafa pertama kali ketemu. Meski dia dingin dan ndak
jarang dia bersikap cuek, tapi entah kenapa setiap saat bayangannya selalu
mengarahkan Syafa untuk selalu mengingat Allah Bi,” pernyataanku terlihat
mantap.
“Anak
Abi curhat nih,”
“Ih,
bukannya Abi yang mulai.”
Ditepuk-tepukkan
tangan hingga terasa hangat dipundak. Untuk seseorang yang kusebut Abi,
menjadikan malam ini tertunduk dan tersipu malu karena dingin yang malam
hembuskan kalah dengan pelukan Abi.
“Memang
arti ta’aruf adalah proses
perkenalan, sepintas maknanya mirip dengan pacaran yang disebut-sebut anak muda
jaman sekarang. Tapi sebenarnya berbeda, Fa,”
“Iya
Syafa tau Abi, kan kita juga jarang ketemu dan ndak pernah keluar, apalagi
jalan berdua,” bantahku mengindikasi pada kebenaran.
“Bukan
begitu sayang, ada yang berbeda di antara keduanya. Ta’aruf itu perlu adanya
perantara, biasanya bisa melalui orang tua, guru ngaji, atau tetua. Abi banyak
melihat laki-laki dan perempuan sekarang saling berdekatan dengan kedok ta’aruf-an tapi mereka tidak melibatkan
seorang perantara. Mulanya PDKT terlebih dahulu lewat sms dengan bertanya
sesuatu yang penting-penting dulu (walaupun sebetulnya hanya
dipenting-pentingkan), semisal tanya tugas kampus, seputar amanah di organisasi
kampus dan sebagainya. Lalu, mengambil hati dengan rutin mengirimkan sms
tausiah, rajin membangunkan shalat malam (walaupun setelah sms kembali tidur
lagi).”
Pikiranku
tersumbat oleh beberapa penuturan Abi, mencoba mencocokkan dengan apa yang ada
di dunia nyata. Pemahaman pribadi yang salah memang bisa menjadikan kita terjerembab
dalam kebatilan halus.
“Memangnya
harus begitu ya, Bi!”
“Kadang
memang tak sadar obrolan lewat sms mengarah ke hal pribadi. Sikap terbukanya
seorang perempuan ini membuat laki-laki semakin berani untuk sekadar bertanya,
“Sudah makan belum?” lalu ditambah dengan kalimat yang bernada mengingatkan dan
sarat dengan perhatian, “Cepat makan sana! Nanti sakit loh!” lalu apa lagi ya,
hayo yang sering pacaran pasti tau sekali,” keningku mengernyit, dan seketika
melepaskan tubuh yang terhempas dari pelukan Abi.
“Hmm,
Syafa ndak pacaran Abi,” Cubitan sayang ini mendarat dengan sempurna, sembari
mencoba mencocokkan pernyataan Abi dengan hal-hal yang sempat merajai
hari-hariku yang disibukkan dengan kedok ta’aruf.
“Trus
bagaimana Abi, berarti selama ini anggapan Syafa salah. Wah kalau posisinya
seperti ini jadi sulit, kan Syafa belum punya perantara.”
“Loh
loh, anak Abi sudah benar-benar mau serius. Tidak terasa ya, anak Abi sudah
pada dewasa. Ya, mulai sekarang diperbaiki dulu ta’arufnya Insya Allah Abi
bantu. Perubahanmu baik Nak, tapi niatnya harus karena Allah, bukan karna
ta’aruf atau orang lain. Ngomong-ngomong, si Awan baik juga Fa, sopan pula.”
“Kok
Abi jadi bahas Bang Awan.”
“Lantas,
siapa kalau bukan Awan?” Wajah Abi beradu pandang, mencoba menunggu untuk
mengobati rasa kaget yang tiba-tiba nyelonong.”
“Hmm…Seseorang
dengan sosok yang sederhana dengan akhlaq yang istimewa. Tapi yang jelas dia
bukakn Bang Awan, Bi. Dia memang tidak pernah memperdulikan Syafa, tapi dia
selalu ada di dalam do’a, dia bisa memberikan banyak pelajaran dari sikap sederhana
dan diamnya sehingga Syafa bisa berubah untuk lebih mengenal Allah. Allah
menganugerahkan perasaan yang sama sekali membuat Syafa bingung. Cara dia menatap dan tersenyum Subhanallah menciptakan begitu banyak
inspirasi hingga rasa nyaman selalu dihati.”
“Tuh
kan curhat lagi,” Abi tersenyum melihat tingkahku.” Dengan sekelamit tanya,
jika bukan Awan lalu siapa?
Malam
ini sayatan-sayatan percakapan kecil kembali membawa sejuta pencerahan.
Rengekan manja mennyulap keadaan menjadi sebuah drama yang manis. Meski
akhirnya kepergok bersalah, rasanya hati ini pilu ingin segera mengubah arah
niatan menjadi “LillahitaAllah” semua
karena Allah. Jika biasanya harus mencuri-curi waktu menunjukkan perubahan pada
dia sekarang aku lebih dewasa untuk menyikapi nafsu untuk sekedar pamer dan
mengetahui keadaannya. Jika aku percaya Allah, aku yakin Allah akan selalu
menjaga dia.
____
“Syafa,
mantelnya ketinggalan.”
Hari
ini seperti keajaiban dua, Bang Awan datang ba’da maghrib dengan dalih
mengembalikan mantel tapi juga membawa beberapa kilo buah apel yang baunya
harum menyeruak.
“Masya’Allah,
selalu dan selalu. Makasih Bang.”
“Eh
Fa, Abi sama Umi dirumah nggak,” kuurungkan niat untuk segera menutup pintu
dengan dalih tidak enak jika dilihat tetangga.
“Kenapa
Bang, semua ada kok. Tumben tanya Abi sama Umi.”
Timbul
symbol pertanyaan besar, ini merupakan keajaiban ke-tiga, rona wajahku terlihat
bodoh dan terpaksa memanggil Abi dan Umi. Sedikit hal yang sampai di telingaku.
Meramu setiap arah pembicaraan untuk bisa tercerna dan membentuk sebuah
kesimpulan. “Bang Awan melamarku.”
Sesaat
setelah dialog serius diakhiri…
“Fa,
Umi tau kamu tadi menguping di belakang.”
“I..
iya Umi,” Ekspresi wajahku serupa kapal tempur kaku, memanas, dan siap
menyemburkan meriam.
“Bagaimana,
menurut Abi Awan anak yang baik, sopan, dari keluarga baik-baik, mapan.”
Penuturan Abi seolah melupakan percakapan semalam.
“Abi
dan Umi setuju saja, iya kan Umi. Ini baru yang namanya ta’aruf, dia berani
meminangmu langsung kepada Abi dan Umi. Yang jelas dia bisa menerimamu apa
adanya, wong ya kamu tau kita bukan dari keluarga berada. Belum tentu orang
yang kamu kagumi, sebaik rasa kagummu.”
“Tapi
semua jawaban ada di kamu, Nak.”
Aku
masih tercekat, dan meninggalkan ruang tamu. Abi tidak mengerti jalan pikiranku
dan obrolan semalam terasa hanya sebuah komunikasi abal-abal. Mata ini memanas,
menerka setiap bulir air mata yang hendak menyentuh tanah. Aku limbung dengan
semua kenyataan. Disaat Allah menunjukkan jalan untuk seseorang berubah, saat
itu pula Allah menitipkan sebuah ujian. Sesaat lebih tenang,
menggantungkan tetesan di atas temaram
mendung. Terfikir pernyataan Abi dan Umi seakan goyah, membenarkan semua
kenyataan. “Alif” aku mengenalnya hanya hitungan bulan,tetapi dia yang menjadi
jalan untuk kembali mengenal Allah, dia yang memiliki hati ini karena Allah.
“Awan” sudah 4 tahun dia selalu ada di setiap langkah, menjadikan hari-hariku
pada kenyataan, bukan sebuah harapan. Mungkin saja Abi dan Umi benar Awan-lah
yang Allah percayakan untuk bisa menjadi imamku. Dada ini penuh sesak, jalan
satu-satunya hanya musyawarah dengan Allah.
------
Teruntuk: Bang Awan (Malang, 20
Januari 2014)
Hati ini hanya titipan Allah, aku
berhutang budi dengan segala niat baik Abang. Hati ini tidak pernah salah Bang,
hanya saja pilihan yang membuat aku harus menjadi raja tega. Kamu membuatku
menjadi nyata, begitu juga Allah menunjukkannya kepadaku.
Bang Awan, terima kasih mungkin tak
cukup membalas kebaikanmu. Berikan sebingkai hatimu untuk orang yang tulus
ingin mendampingimu, tapi bukan aku. Seandainya abang datang sebelum aku
menjatuhkan pilihan, mungkin ceritanya menjadi lain. Maafkan aku, jika aku
harus memilih untuk tetap setia dengan keyakinanku. Sebelumnya Abang sudah
mendengar semua ceritaku, mungkin saja engkau akan menertawakanku dengan berharap
pada sesuatu yang tak pasti. Tapi aku yakin Allah bersamaku, aku akan berusaha
memperbaiki niat ta’arufku. Yakinlah Allah sudah menyediakan secarik kebahagian
untuk masing-masing di antara kita. Kamu dan kebahagiaanmu begitu pula Aku.
Assyifa
Ramadhani.
By Astiana'14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar