Sudah
punya calon?
By.
ASTIANA
Usia termakan waktu dengan benturan
comen-comen radikal yang datang beruntun. Siang ini suasana rumah mamring alias
sepi hanya aku dan Ibu yang melenggang dengan kesibukan masing-masing.
Kertas-kertas revisi skripsi masih acak-adul di sudut-sudut lantai kamar.
“Fany, Ibu perhatikan kamu sekarang ndak punya temen cowok.”
Terangsang dengan pertanyaan menggelitik, aku hanya nyengir sembari mencomot
jeruk di tangan ibu. Hanya saja respon mata ini juga ikut membelalak.
“Ih, apa sih bu. Bukannya ibu yang selama ini melarang Fany.”
Aku mencoba memutar kembali sebuah ikrar dahulu sebelum memutuskan untuk masuk
kuliah. Ibu rupanya masih celingak-celinguk menanti jawaban selanjutnya, sayang
aku hanya menjawab sekenanya.
“Tapi…” Jawaban itu sepertinya tertelan bersama kupasan jeruk
mandarin yang langsung masuk ke lambung.
“Tapi kenapa bu. Pilih kuliah sama kerja atau kerja dan
menikah?, kalau pilihnya kuliah sama kerja berarti jangan dekat sama cowok,
titik. Bukannya itu dulu multiple choicenya.” Menggelar kembali sebuah pilihan
yang semestinya sudah menjadi sebuah komitmen. Ketika itu mantap dengan pilihan
kuliah dan bekerja.
Ibu memang tidak membatasi pergaulanku dengan siapapun, asal
bertanggungjawab. Tapi untuk masalah
manusia yang berwujud lelaki sensitifitas beliau selalu meniggi, bahkan meski hanya
berteman. Tak jarang teman-temanku berteriak jargon “anak pingit”. Hah? Hari
gini jadi anak pingit, jangankan keluar rumah telfon-telfonan dalam kamar saja
selalu ada detektifnya. Tapi that’s real. Lambat laun aku bisa mengerti kenapa
ibu bersikap demikian dan aku juga mengerti bagaimana cara bersikap sebagai
seorang perempuan.
“Ya tapi kan ndak harus tidak mengenal cowok sama sekali.”
Limbung dengan raut meluber bersama guratan menua di wajahnya. Tatapanku mulai
berbeda, sepertinya pembicaraan ini merujuk ke arah serius.
“Setidaknya kamu juga harus tahu bagaimana mereka, jangan
ndak mengenal mereka sama sekali. Tapi kalau mau ketemu ya di rumah saja.”
“Serius bu…” kataku lembut melawan arah pembicaraan dengan
bersandar di bahu beliau, meski hati ini kaget. Ada angin apa tiba-tiba ibu
bertanya demikian. Apa sudah ingin anak perempuannya ini menikah, atau cuma
melihat sejauh mana aku memegang komitmen untuk menyelesaikan kuliah atau
mungkin ada alasan lain.
“Iya, ibu serius. Mungkin sudah saatnya kamu mengenal sosok cowok.
Apa jangan-jangan kamu sudah punya pilihan untuk menikah?” Nada bicaranya
sedikit membuncah. Dalam hatiku masih galau, tadi katanya disuruh mengenal
cowok, tapi pertanyaan yang beliau buat malah bikin kaget sendiri.
“Belum lah bu, Insya Allah komitmen Fany masih di sini sampe
wisuda nanti.” Telunjuk kananku mantap mengarah ke dada sebagai symbol hati. Aku
mencerna setiap pertanyaan dan menjawab dengan hati-hati. Walaupun tak
dipungkiri terkadang rasa ingin menjalin hubungan dengan cowok itu selalu muncul,
manusiawi. Kadang rasa iri dengan teman yang sudah berpasangan dan menikah itu
juga membayangi, tapi aku sudah siap dengan membatasi diri untuk bisa menjaga
hati.
“Ya sudah lah, jangan terlalu tertutup. Cerita sama ibu kalau
sudah kenal sama cowok. Ingat sudah saatnya kamu membuka hati.” Tanpa sambungan
kata lagi ibu melangkah pergi dari kamar penuh kertas berserakan.
Rasanya kepala membumbung dengan
ornament burung di kepala, dengan mulut masih mengaga penuh dengan buliran
jeruk mandarin yang belum tertelan. Entah itu hati ibu sudah benar-benar
terbuka untuk menerima anaknya dekat dengan cowok, atau semata-mata hanya mau
nge-tes, atau memang benar-benar cemas anak perempuannya sudah mau wisuda tapi
ga punya cowok alias jomblo. Huft, yang jelas aku bersyukur meski jomblo. Aku
tidak pernah merasa jomblo karena aku tidak pernah merasakan pacaran. Hanya
sepercik harapan yang tersimpan untuk nantinya kuhadiahkan hati ini kepada
seseorang yang bernama “suami”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar