Setiap potongan wortel menyisakan kepingan asa. Seolah pertanyaan yang
sudah tersusun rapi tadi malam, pagi ini benar-benar terberai. Persis
butiran pipih wortel, tapi rupanya bawang merah begitu mengerti hingga
aku bisa meneteskan air mata dengan leluasa. Yah, lumayanlah setidaknya
rasa penasaran dan tertekan bisa tersampul sempurna.
“Kupas saja di kucuran air pasti ndak bakal pedes di mata,” Ibu menyela tangisku.
“Ehm…iya, Bu. Memangnya bisa?” Sergahku membenarkan sebuah tips unik.
“Ya dicoba saja dulu, biar kamu ndak mewek-mewek gitu. Nanti kuah supnya nambah lo.”
Harusnya tidak ada tips hingga aku benar-benar puas dengan segala beban
yang mengganjal. Ternyata tips ini manjur, hingga aku terpaksa menyeka
buliran-buliran air mata. Bilang, tidak, bilang, tidak, bilang, tidak.
Masya’Allah rasanya treble di dada ini semakin menderum. Menanyakan
sebuah hal yang important di saat masak itu memang aneh, tapi aku rasa ini saat yang tepat membuat obrolan menjadi santai. Hmmmm, hufttt…..
“I..Ibu, dulu ketemunya sama Ayah gimana sih,” sergahku garing.
Bagaimana tidak, seperti siaran ulang talk show begitu pula cerita ini
sudah berulang-ulang menjadi topik pembicaraan. Untung saja biasanya Ibu
selalu bangga untuk mendeskripsikannya panjang lebar.
“Tumben pertanyaannya sama.”
“Glek…” Tanganku gemetar memegang ujung sendok.
Mata ini membelalak, sup panas yang hendak dicicipi menyulut bibir
dengan sempurna. Ya… panas, rasa panasnya begitu nyata melilit lidah.
Aku tidak menyangka basa-basi ini gagal.
“Ehm…Bu, bagaimana kalau misalnya Fanny dekat dengan seorang laki-laki?”
“Glek,” Ibu menelan ludah.
“Memangnya kenapa Fan, sudah ada yang dekat?”
Aku ingin sup ini matang lebih lama hingga aku menyelesaikan delik talk show ini dengan mulus.
Ucapanku benar-benar menjurus, dan keliahatannya keberanian ini menjadi pedang utama yang muncul tiba-tiba.
“Bukannya dulu Ibu pernah bilang kalau Fanny boleh kenal dengan seseorang kan?”
“Iya, jadi sekarang sudah ada seseorang yang mau dekat? Namanya siapa?
Tapi bukannya dulu janji mau wisuda dulu,” tanya ibu lantang.
“Iya..kan Fanny Cuma…” rasanya tak sanggup ku bantah.
Aku masih teringat saat menunjuk dada dan berjajanji untuk lulus tanpa
embel-embel tujuan lain selain mengantongi gelar Sarjana Pendidikan.
Tapi sementara aku abaikan. Sebongkah keberanian ini tak akan sia-sia
hingga tekadku menyelesaikan beberapa pertanyaan lagi. Meski suasana
dapur sedikit menguap tapi biarlah, sulit mendapat keberanian seperti
sekarang. Ini kali pertama pertanyaan ini meluncur.
“Fanny bingung Bu, bagaimana memulainya. Sebenarnya… Ehm Fanny,
sebenaranya Fanny yang… Maksud Fanny, bagaimana jika Fanny punya
perasaan kepada seorang lelaki, Bu?” Tanyaku gelagapan.
“Loh, perasaannya apa dulu? Sudah dipastikan belum?”
“Maksud Ibu?”
“Ya iya harus dipastikan dulu perasaan apa? Benci kah, suka kah, atau kecewa?”
“Huft…,” sedikit demi sedikit peluh mengalir dari dahi,” watch out.
“Belum tau, Bu. Rasanya ada yang berbeda, Fanny nyaman saja kenal dengan dia.”
Ya, jawaban ‘nyaman’ itu memang familiar dan terkesan netral. Karena
memang aku cukup berbelit jika ditanya sebenarnya ini perasaan apa.
Vinda pernah bilang mungkin benar kalau itu jatuh cinta. Hah??? Apa
iya? Aku sering dengar juga statement ini, sering juga kasih saran pas
temen sedang curhat. Tapi kalau merasakan sendiri?
“Dia sudah kenal belum sama Fany,”
“InsyaAllah sudah, Bu?” Jawabku mantab.
“Bagaimana Agamanya? Bagaimana Akhlaknya? Bagaimana sekilas pendapat
Fanny tentang dia?” Pertanyaan Ibu begitu rentet.
“Islam Bu, sejauh yang Fanny tau Inysa Allah juga baik. Meski dia
dingin, tak banyak kata dan semua itu membuat banyak tanda tanya di
benak Fanny tapi Subhanallah banyak pelajaran yang Fanny dapat.
Bagaimana cara bersikap, bagaimana cara menjawab, bahkan bagaimana cara
bertindak. Saat Fanny instrospeksi, memang benar Bu. Rasanya Fanny
masih begitu jauh dari Syari’at,” gumamku menggebu lancar.
“Kamu curhat?” Ibu tersimpul senyum.
Tak sadar, semua mengalir seperti air terjun. Aku bebaskan semua tanya
dan pernyataan tanpa ada pagar pembatas. Iya… rasanya mengalir dan
begitu nyaman. Sesekali aku usap dahi dan ternyata sudah tidak ada lagi
peluh ketakutan yang menempel.
Apa aku
kelihatan curhat ya. “Ehmm… tapi apa memang kriterianya harus seperti
yang Ibu bilang ya? Tapi kan Fanny hany sebatas kenal, Bu.”
“Tapi apa salah jika Ibu bertanya demikian?” Jawaban itu seolah menyudutkanku.
“Ehm..ti … tidak… Bu. Fanny jadi malu. Maaf ya Bu, jika Fanny tidak
bisa menjaga hati dan pandangan Fanny,” keluhku menguat.
“Justru ini sebuah hadiah dari kesabaranmu mejaga hati, Nak. Muslimah
boleh kok jatuh cinta,” pernyataan Ibu tegas.
Semua masakan di dapur hampir selesai. Hanya tinggal kerupuk yang
hampir tuntas dipenggorengan. Tapi obrolan ini begitu membuat rasa ingin
tahu ini membuncah. Aku tidak ingin obrolan ini terputus.
“Memangnya boleh? Lalu apa untungnya selama ini Fanny harus menjaga hati.”
“Boleh saja, bahkan untuk mengungkapkan perasaan. Tapi semuanya dengan dua kemungkinan.”
“Kemungkinan apa, Bu,” tandasku semakin menguat. Otak penasaran semakin mengejang.
“Sepertinya anak Ibu benar-benar sudah jatuh cinta. Kamu belum jawab Ibu siapa namanya?”
"Ehmm....."
Nadaku melemas. “Fanni belum bisa memastikan ini perasaan apa. Fanny
hanya tidak mau kalau sampai perasaan in jatuh di koridor yang salah.
Fanny takut sakit hati seperti yang temen-temen dan banyak orang
bilang.Tapi lebih takut lagi, jika sampai salah langkah dan hanya
terburu hawa nafsu. Naudzubillah… Hmm.... Fanny salah ya, Bu?”
“Perasaan itu wajar dimiliki setiap makhluk lemah seperti kita dan
Allah SWT tidak melarang adanya perasaan tersebut asalkan kita bisa
menjaganya dan tidak terbawa nafsu. Fan, muslimah boleh jatuh cinta.
Jika kamu jatuh cinta niatkan semua karena Allah, jika Allah mengizinkan
segerakan untuk mengutarakan ta’aruf tapi saat dia belum siap untuk
melangkah maka seorang muslimah harus shobr untuk kembali menjaga hati.”
"Hah? Fanny kan perempuan, Bu?"
"Loh, bukannya Fanny bertanya dari sudut perasaan Fanny? Sepertinya
Fanny juga belum tau apa yang dia rasakan. Jadi wajar kalau jawaban Ibu
hanya sepihak dari perasaanmu. Beda lagi kalau kalian sudah sama-sama
mengerti. Mungkin hanya butuh seseorang untuk menjembatani ta'aruf."
Kali ini penuturan Ibu membuatku tercengang. Secara aku hanya seorang
perempuan, betapa malu rasanya jika harus mengungkapkan terlebih dahulu.
Jangankan bicara masalah hitbah, ta’aruf dan sejenisnya,
menyapapun masih terasa canggung. Meski aku percaya, tapi rasanya lidah
ini tidak akan pernah singkron dengan secuil kenyataan dalam hati.
“Ehm…Oh… sudahlah, Bu. Lebih baik Fanny menjaga hati saja. Mungkin
menunggu memang jawaban yang lebih pas untuk sementara ini.”
“Bukan maksud Ibu selama ini mengekang dan membatasi pergaulanmu. Suatu
saat Fanny pasti mengerti betapa indahnya menjaga hati.”
“InsyaAllah, Bu,” jawabku haru.
“Sudahlah, tidak usah menangis seperti tadi. Sudah plong kan? Insya
Allah do’amu tiap malam untuk dia akan diijabah. Meski kita tidak tau
jawaban apa yang nanti Allah berikan.”
“Hah…Fanny
ndak nangis kok.” Sorotan mata ini menyimpan curiga seolah ibu
benar-benar paham apa yang aku rasakan.
“Alah,
sudahlah Nak. Aku ini Ibumu. Mau tanya saja sampai nangis pake alasan
bawang merah lagi... Jika dulu kamu yang harus mendengarkan Ibu,
sekarang sudah saatnya Ibu yang mendengar ceritamu,” sergahnya meredam.
Subhanallah ... Semua berakhir bersama kerupuk-kerupuk yang tertata
rapi di dalam toples. Persis seperti hatiku yang sudah mulai tertata
kembali ketika Ibu mau mendengar pernyataanku. Meski belum begitu puas
dengan kebenaran yang diutarakannya. Tawaku mulai mengembang, hari ini
pertama kalinya Ibu mendengar apa yang aku rasakan. Maaf bu, ketakutanku
salah. Semua cukup menoreh sebuah keyakinan bahwa setiap perasaan
manusia itu tidak salah. Katakan hari ini atau kamu akan menyesal,
sungguh pernyataan itu sangat tak adil untuk kaum hawa. Bukan
diskriminasi, tapi I’tikad seorang perempuan untuk menjaga hati yang
menjadikan pernyataan itu tersamar dan kelu. Saat ini jika aku gelisah
itu karena ada seseorang selain Allah dihatiku dan aku yakin kegelisahan
itu akan menghilang ketika Allah sudah menjadikan semuanya halal.
"Wink for wink"----- Ayu Astiana '2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar